Mahasiswa Uighur Bicara: Tak ada Ramadhan Bagi Kami

Red: Muhammad Subarkah

Rabu 08 May 2019 02:17 WIB

Muslim Uighur berkumppul dan berdoa di bulan Ramadhan. Foto: BBC.com Muslim Uighur berkumppul dan berdoa di bulan Ramadhan.

Oleh: Uttiek M Panji Pastuti, Traveler dan Penulis Buku

Delapan puluh tiga hari menjelang Ramadhan. Apa yang kita rasakan? Gembira. Tentu saja. Bulan Suci itu selalu dinanti umat Islam sedunia. Sajadah dan mukena terbaik. Sarung dan peci. Kurma dan zamzam. Apalagi yang sudah dipersiapkan?

Di saat Muslim Indonesia dan di sudut-sudut bumi Allah lainnya begitu bersemangat menyambut datangnya bulan yang penuh keberkahan itu, Shalahuddin hanya sanggup berkata, “Tak ada lagi Ramadhan bagi kami.”

Di bulan Ramadhan, Muslim Uighur dilarang menjalankan ibadah puasa. Tak hanya regulasi pelarangan, tapi di sekolah-sekolah juga disediakan makan siang yang harus dimakan.

“Kalau ada yang melanggar, konsekuensinya dipenjara. Sekalipun masih anak-anak. Untuk menebusnya, orangtua harus mengeluarkan uang yang sangat banyak,” katanya dalam wawancara pribadi melalui email. "Sehingga bisa dipastikan tak ada lagi anak-anak sekolah yang menjalankan puasa Ramadhan," ujarnya lagi.

Lalu, apa yang dilakukan? Apakah selama bulan Ramadhan tidak ada yang berpuasa sama sekali?

“Kami meng-qodho-nya di bulan lain. Sehingga tidak terlalu menyolok. Kami juga meng-qodho shalat pada kondisi-kondisi tertentu,” tegas Shalahudin.

“Segala upaya dilakukan untuk menjauhkan kami dari Islam,” lanjutnya pilu.

Innalillahi wa innailaihi rojiun…

Saya jadi teringat saat melakukan perjalanan ke Andalusia tahun 2014 lalu. Ada situasi yang pernah terjadi disana, yang mirip dengan yang dialami saudara-saudara kita di Uighur saat ini.

Sejarah mencatat, sesaat setelah Granada jatuh ke tangan Isabel dan Ferdinand, segala cara dilakukan untuk memastikan tidak ada Muslim yang tersisa. Isabel dan Ferdinand secara resmi membentuk Dewan Inkuisisi yang tugasnya memburu umat Islam.

Mereka memata-matai seluruh penduduk Andalusia. Bahkan yang sekadar ketahuan berdoa sambil menengadahkan tangan menghadap ke Timur, akan dibunuh. Mereka yang memakai pakaian terbaik di hari Jumat, dibunuh.

Mereka yang ketahuan dikhitan, dibunuh. Setelah mengalami penyiksaan berkepanjangan, mereka yang sudah tua dan lemah akan dibiarkan hidup, namun harus menyaksikan anak dan cucunya makan daging babi, minum arak, hingga mereka meninggal karena nestapa berkepanjangan.

Setiap penduduk Andalusia juga diwajibkan menggantung paha babi yang dikenal dengan sebutan jamon di depan rumahnya. Tradisi menggantung paha babi itu terus berlanjut hingga kini.

Dalam beberapa perspektif, situasi ini mirip dengan yang terjadi di Uighur saat ini. Pemerintah China mencoba memastikan, tak ada lagi syariat Islam yang dijalankan Muslim Uighur.

Bahkan, seperti dilansir dari rfa.org, pemerintah China menerapkan aturan adanya kader Partai Komunis China tinggal bersama keluarga Muslim Uighur selama 15 hari di bulan Ramadhan untuk memastikan mereka tidak shalat dan puasa.

Mereka yang tercatat sebagai pegawai negeri atau pensiunan pegawai pemerintah saat mengambil gaji atau uang pensiun, diharuskan menandatangani dokumen yang isinya janji untuk tidak berpuasa dan shalat selama Ramadhan.

Dari tahun ke tahun tekanan itu makin hebat. Kalau sebelumnya kebijakan itu hanya pengikat pegawai negeri atau pensiunan pegawai pemerintah, kini mereka yang menandatangani dokumen juga bertanggung jawab untuk memastikan tidak ada teman dan keluarga yang berpuasa dan shalat.

Dilema ini tak hanya berat, namun juga membuat frustrasi. Seringkali mereka harus memaksa ayah-ibu atau kakek-neneknya untuk tidak shalat dan berpuasa selama Ramadhan. Padahal kakek-neneknya adalah seorang alim yang telah pergi haji.

Shalahuddin mengingat, kondisi seperti ini sebenarnya belum lama. “Sebelum tahun 2016 kami masih bisa berpuasa Ramadhan meski dalam tekanan. Merasakan Shalat Ied di masjid walaupun dilarang menggunakan pengeras suara, dan tidak boleh melakukan takbiran. Sama persis dengan peraturan shalat Jumat. Tapi saat ini kami benar benar dilarang melakukan semuanya,” ungkapnya menumpahkan kegundahan hatinya.

Di Masjid Emin Minaret, Mr Chang, local guide yang menemani saya dan Lambang selama di Urumqi dan Turpan juga menjelaskan hal yang sama.

Masjid itu dulunya masih boleh digunakan untuk shalat Ied. “Namun, sesuai regulasi baru pemerintah, sekarang tidak boleh lagi digunakan untuk shalat.”  Di hari Lebaran, hanya boleh digunakan untuk kumpul keluarga sambil makan bersama di pelataran masjid.

Sementara, di negeri tempat Shalahuddin menempuh studi saat ini, Ramadhan disambut dengan sangat meriah.

Seribu lentera dinyalakan. Jamaah shalat Tarawih meluber hingga ke jalan raya. ifthar jama’i digelar di mana-mana. Termasuk di kampusnya.

Kurma-kurma terbaik dihidangkan. Ta'jil puasa dibagikan pada siapa saja yang mau. Seluruh keluarga berkumpul menikmati momen kebersamaan buka dan sahur.

Saya bisa membayangkan hati Shalahuddin yang masygul. Apakah Ayah, Ibu, Kakak, saudara dan tetangganya bisa menikmati indahnya Ramadhan kali ini?

Seringkali kita alpa. Suka cita menyambut Ramadhan dilakukan dengan menumpuk makanan/minuman sebanyak-banyaknya. Padahal di belahan bumi yang lain, ada saudara-saudara kita yang melewati Ramadhan dalam nestapa. Sekadar menjalankan syariat puasa pun tak bisa.

Saya deraskan doa, semoga Ramadhan kali ini Allah izinkan lailatul qadr’ menyinari bumi Uighur. Membebaskan bangsa ini dari penguasa yang lalim.

Syahru ramaḍānallażī unzila fīhil-qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān fa man syahida mingkumusy-syahra falyaṣum-h, wa mang kāna marīḍan au 'alā safarin fa 'iddatum min ayyāmin ukhar, yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-'usra wa litukmilul-'iddata wa litukabbirullāha 'alā mā hadākum wa la'allakum tasykurụn

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alqur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. [QS Al Baqarah: 185]

Follow me on IG @uttiek.herlambang

Tulisan dan foto-foto ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti

Terpopuler