Puasa dengan Syukur (1)

Red: Hasanul Rizqa

Senin 06 May 2019 10:01 WIB

Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali Foto: Nusantara Foundation Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali*)

“Tidakkah saya harusnya menjadi hamba yang mampu bersyukur?” (sabda Nabi Muhammad SAW).

Orang berpuasa karena ragam motivasi. Ada yang melakukannya karena sadar bahwa itu kewajiban. Ada pula yang memang karena sekedar terbawa “lingkungan” sekitar alias ikut-ikutan. Ada juga yang menyadari bahwa puasa itu adalah salah satu kebutuhan dasar dalam hidupnya.

Baca Juga

 

Dari sekian banyak motivasi, tiada lagi yang lebih tinggi dan mulia dari sebuah kesadaran sejati bahwa puasa itu adalah bentuk “rasa syukur”. Yaitu menyadari secara penuh bahwa puasa itu adalah karunia yang luar biasa dari Allah SWT. Tidak sekedar kewajiban, tidak juga karena keperluan, apalagi karena didorong oleh keadaan.

Melakukan puasa karena merasa di wajibkan boleh jadi melahirkan perasaan beban, bahkan terpaksa. Mau atau tidak mau harus dilakukan karena memang kewajiban. Tapi dalam hati boleh jadi timbul “was-was” dan rasa keterpaksaan itu.

Jika ini terjadi maka nilai puasa, baik secara pahala maupun sebagai kekuatan transformasi karakter, menjadi sangat mengecil.

Akibatnya puasa menjadi amalan wajib tahunan yang hampa. Setelah Ramadan semua kembali menjadi seperti biasa. Ibaratnya sebuah bisnis, tiada untung. Hanya kembali modal karena sekedar melaksanakan kewajiban. Pesan moral puasa juga tidak efektif karena tidak menyentuh kesadaran terdalam.

Melakukan puasa karena kebutuhan juga berakhir dengan hasil yang kurang maksimal. Sebab melakukannya seolah memenuhi keinginan pribadi. Jika hal ini diungkapkan dalam bahasa negatif maka puasa seperti ini seolah sekedar memenuhi hawa nafsu.

Dan karenanya pilihan tertinggi adalah berpuasa karena memang menyadari jika puasa itu sendiri adalah sebuah karunia besar dari Allah SWT. Sebuah keniikmatan yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya tercinta.

Menyadari kenikmatan puasa menjadikan berpuasa tidak saja mudah dan ringan. Tapi dengan kesadaran seperti itu puasa akan dilakukan dengan penuh gembira dan nikmat. Detik demi detik akan berlalu dengan kelezatan menjalankannya.

Ternyata memang syukur itu adalah fondasi utama dalam melakukan ubudiyah kepada Allah SWT. Bahwa ibadah bukan sekedar kewajiban agama yang ditujukan untuk mengumpulkan pahala. Tapi memang sebuah ekspresi iman untuk mengakui semua karunia nikmat Allah dalam hidup.

Ibadah-ibadah yang kita lakukan itu semuanya kira-kira menjadi pembuktian akan kesadaran tertinggi untuk mengapresiasi karunia Ilahi. Setiap ruku' dan sujud kita kira-kita mengekspresikan: “Thank you Allah” atau segala nikmat-Mu.

Itulah rahasia jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh isterinya yang terkagum dengan sholat malam dan seluruh ibadahnya. Sang isteri bertanya: “kenapa engkau melakukan semua ini ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Tidakkah saya seharusnya menjadi hamba yang mampu bersyukur (kepada Allah)?”

Ingat, kesadaran “Syukur” dalam bentuk ibadah-ibadah itu juga belum mampu mengimbangi kebesaran karunia Allah. Karenanya jangan pernah merasa mampu membayar segala karunia nikmat Allah dalam hidup kita.

Surga-Nya tak akan diraih sekedar dengan ibadah-ibadah kita. Pada akhirnya surga itu hanya dimungkinkan untuk kita dengan “kasih sayang-Nya” (rahmah) jua.

Semoga kita semua mampu mencapai tingkatan kesyukuran dalam menjalankan Ibadan puasa ini. Ringan, senang, tenang, dan merasakan “ladzdzah ‘ubudiyah” (kelezatan ibadah) kepada Allah SWT. Amin!

New York, 4 Mei 2019

* penulis merupakan Presiden Nusantara Foundation

Di bulan yang baik ini penulis mengajak umat Islam untuk ikut mengambil bagian dalam membangun peradaban Islam dunia dengan pembangunan pondok pesantren pertama di Amerika.

Donasi bisa dilakukan melalui:

https://nusantaraboardingschool.com/support/

Atau transfer ke:

Rekening Indonesia:

Rek rupiah : 1240000018185

An. inka nusantara madani

Bank Mandiri

Jazakumullah khaer!

Terpopuler