REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA— Konsep al-imsaak atau menahan diri yang menjadi inti dari puasa Ramadhan perlu diaktualisasikan, terutama di tengah potensi perpecahan akibat polarisasi pasca-Pemilu 2019.
"Ramadhan adalah salah satu instrumen religius untuk melatih kita menahan diri," kata Ketua Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya, Achmad Muhibbin Zuhri, di Surabaya, Kamis (2/5).
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya ini mengatakan setiap orang harus memiliki self control atau kontrol diri untuk tidak mengekspresikan dorongan nafsunya di ruang publik.
Menurut dia, beberapa contoh penerapan konsep al-imsaak adalah menahan diri dari kesewenang-wenangan ketika berkuasa dan menahan diri dari kemarahan dalam posisi kalah.
"Demikian halnya, kita mesti belajar bersyukur dan menahan diri untuk tidak melakukan selebrasi dan berlebihan ketika mendapatkan anugerah atau diuntungkan oleh keadaan," kata dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel ini.
Sebaliknya, kata dia, apabila di pihak yang tidak diuntungkan oleh keadaan, maka bersabar dan menahan diri untuk tidak terus meratapi diri dan menyalahkan pihak lain.
"Sesunggunghnya semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan dan kita seharusnya berbaik sangka kepada Allah, bahwa semua yang ditetapkan Tuhan untuk kita pastilah hal terbaik. Hanya keterbatasan kita dan nafsu kitalah yang menyebabkan kita menilai lain," katanya.