Menjalankan Ramadhan di Prancis Kuncinya Niat

Red: Muhammad Subarkah

Senin 06 May 2019 05:01 WIB

Masyarakat Perantaun Indonesia di Prancis buka puasa bersama. Foto: Dini Kusmana Massabuau Masyarakat Perantaun Indonesia di Prancis buka puasa bersama.

Oleh: Dini Kusmana Massabuau, Warga Indonesia di Montpellier, Prancis.

Tahun ini insyaallah, adalah ke 19 kalinya saya dan keluarga akan memasuki bulan ramadan di Prancis. Awal menjalankan rintangan bukan dari segi waktu, karena saat itu tahun 2000, puasa jatuh pada bulan Desember. Subuhnya lebih siang dibanding waktu di Tanah Air, Maghribnya juga lebih cepat. Tapi udara dingin dan suasana Ramadhan yang sama sekali tidak ada yang membuat hati sedikit hampa.

Hingga kini belasan tahun hidup merantau, dari mulai anak satu menjadi dua. Ramadhan sudah menjadi bagian hidup. Menjadi kewajiban sebagai umat Muslim. Mendidik anak-anak kami agar terbiasa dengan suasana Ramadhan pada awalnya. Suasananya dulu bukan pelaksanaan.

Bagi kami ketika mereka kecil, lebih ditekankan pada suasana, istilahnya pengenalan. Ikutan sahur, walaupun hanya pas hari ketika tidak ada sekolah. Ikutan tarawih. Sebisa mungkin suasana kami kenalkan secara akrab. Ketika mereka sudah usia 7 tahun, biasanya setiap akhir pekan mereka berpuasa penuh. Sehari-hari mereka tidak berpuasa karena sekolah yang dimulai dari pukul 8:30 hingga 17:00 dan diselangi kantin di sekolah. Juga karena kami takut konsetrasi belajar mereka terganggu.

Alasan lainnya adalah karena saat jam makan siang, mereka yang sudah kami daftarkan di kantin wajib untuk makan siang. Kami menghindari kepelikan di sekolah negeri. Sekolah Islam? Mana ada di kota kami, mungkin di Prancis sekolah Islam bisa dihitung oleh jari.

Bagi saya kunci menjalankan Ramadhan di negara empat musim dengan mayoritas non Muslim dan berada di negara laïcité adalah niat! (Laicite   : negara terpisah dengan agama. Simbol keagamaan dilarang dalam kepemerintahan, pegawai negeri, sekolah negeri atau sebuah perusahaan yang menginginkan tidak ada simbol agama, dibawa, digunakan berhak).

photo
Menyiapkan hidangan buka puasa di Prancis

Niat ini yang sangat membantu saya sebagai pasangan kawin campur dimana salah satu pasangannya adalah mualaf. Membantu dalam menjalankan kewajiban beragama bisa dijalankan dengan baik. Niat yang membantu saya menyetel otak agar setiap Ramadhan, sesuai dengan musim yang sedang berlangsung, tetap bisa menikmati puasa.

Mungkin, jika suami saya tidak ikut mendukung, akan rasa hampa memenuhi hati. Karena sayangnya kenyataan itulah yang banyak membuat teman Muslimah saya yang meninggalkan kewajiban beribadah, akhirnya melepaskan agama Islam.

Tapi karena sahur, buka puasa hingga shalat tarawih kami lakukan bersama, kekuatan rasanya lebih besar. Dan ketika sulung sudah masuk SMP, maka puasa dia lebih banyak lagi. Sebisa mungkin ketika mata pelajaran tidak ada olah raga yang terlalu berat dia akan menjalankan puasa. Bahkan ketika di bangku SMA, berpuasa sudah bukan hal yang baru dilakukan sambil berolah raga. Badan anak muda apalagi lebih kuat mungkin.

Sering ia mendapat banyak pertanyaan dari teman-temanya mengenai puasa. Mengapa dia berpuasa, apakah tidak capai, apakah tidak haus, apakah bukan merupakan suatu penyiksaan bahkan ada yang bertanya apa benar kalau puasa tidak boleh buang angin dan buang air besar?

Pertanyaan yang berulang ini, dengan santai anak sulung kami menjawabnya sesuai dengan pengetahuannya.

Alhamdulillah, Adam anak kami selalu mendapatkan teman yang sangat solider dengan agama dan caranya Adam menjalankan agamanya. Kami juga selalu berusaha menyakinkan dia bahwa agama bukanlah suatu halangan dalam melakukan aktivitas, dan juga tidak akan membebaninya, jika dirasa sudah tidak mampu dijalankan. Yang terpenting telah berusaha, dan bisa mengantikannya di lain hari.

Sedangkan si-Bungsu kami berpuasa masih dalam tahap akhir pekan saja. Tapi ketika keduanya pernah menjalankan puasa di Indonesia, mereka dengan mudahnya melaluinya. Karena terbiasa berpuasa dengan kondisi lebih sulit. Misalnya ketika Ramadhan jatuh di musim panas.

Kala itu berpuasa bisa dimulai pukul 03:00 dan berakhir pukul 22:30. Saat ini puasa akan dimulai pukul 04:20 hingga 21:51, dan akan terus bertambah sesuai dengan bulan yang semakin mendekati musim panas dan berdasarkan kota tinggal. Setiap kota kadang berbeda. Misalnya saya berada di Prancis Selatan hingga matahari terbit lebih dahulu dibanding di utara dan tenggelam belakangan.

photo
Hidangan buka puasa bersama dengan hidangan ala 'Maghribain' di sebuah masjid di Prancis,

Sulitnya berpuasa diperantauan ini, yang membuat saya dan keluarga sudah beberapa tahun ini mengadakan acara buka puasa bersama di kediaman kami. Tujuannya selain sebagai ajang silaturahmi juga untuk mendapatkan suasana Ramadhan bersama teman-teman setanah air.

Kami sangat gembira karena acara bukber ini selalu membuat kami para perantauan, pasangan kawin campur, para pelajar bahkan yang non Muslim pun ikut bergabung untuk keakraban di bulan suci Ramadhan. Menu yang disediakan tentu saja, makanan khas ramadan dari Indonesia. Dan suami saya yang pintar masak, justru setiap acara bukber ini paling semangat masak masakan Indonesia. Tahun lalu misalnya dia membuat siomay Bandung dan lontong dari daun pisang.

Bagi yang mencari suasana iftar di Prancis, juga bisa datang ke beberapa masjid. Kegiatan ini terbuka bagi siapa saja. Karena sudah bukan hal aneh, di bulan ramadan, masjib-masjid akan menyediakan menu iftar hasil dari sumbangan berbagai orang dan atas bantuan dari para sukarelawan.

Iftar dengan cara tersebut sangat cocok juga bagi para pelajar, yang mungkin tak sempat masak untuk buka, atau mencari suasana akrab di bulan Ramadhan. Dan tentunya bagi yang menyukai masakan dari 'Maghribain' (Maroko atau Afrika Utara). Ini karena biasanya menu iftar Ramadhan di masjid-masjib itu berasal dari Maroko, Tunisa, dan Aljajair.

photo
Hidangan masakan Indonesia pada sebuah acara buka bersama di Prancis.

Ramadhan di Prancis memang tidaklah seperti Ramadhan di Indonesia atau negara dengan penduduk muslim mayoritas. Bulan Ramadhan akan terasa sama seperti hari-hari biasa. Tidak ada ceramah keagamaan lebih banyak, tidak ada serunya orang-orang menunggu azan magrib apalagi yang ingin bukber di restoran dengan 'cepat-cepatan' cari tempat duduk.

Hidup di negara non muslim, keluar rumah, berada dalam lingkungan pekerjaan, sekolah, dan lainnya tidak akan ada istilah, hormati yang sedang berpuasa. Bukan karena mereka tidak hormat, ini karena kebanyakan memang tidak tahu bulan Ramadhan sedang berlangsung. Dan kalaupun tahu apa bedanya bagi mereka pun tak mengerti juga.

Berpuasa dengan waktu yang panjang, suhu yang kadang mencapai hingga 40 derajat di musim panas, selama berhari-hari dengan gelombang hawa panas, tanpa adanya suasana yang membuat kita merasa didukung, memang berat. Jangan heran, jika banyak orang yang akhirnya memilih kalah. Karena memang menjalankan ibadah yang satu ini, sifatnya hanya antara diri kita dengan Tuhan yang tahu sampai dimana titik keimanan kita teruji.

Dan itupun tidaklah mudah. Tanpa niat yang kuat menjalankan ibadah hanya untuk Allah rasanya akan sulit. Dan niat yang membuat kita bisa bertahan, menjalani ibadah Ramadhan di perantauan ini.

Terpopuler