REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ditemui Republika.co.id, Kamis (21/6), Ustaz Munzir Situmorang merasa cukup beruntung bisa mudik ke rumah mertuanya di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah dengan waktu perjalanan yang cukup singkat. Tahun ini, waktu tempuhnya hanya sembilan jam.
Lalu lintas sangat lancar saat ia berangkat mudik Senin (18/6) menyusuri 500 km jalan raya dari Bekasi, Jawa Barat. Pada Senin itu, pemerintah baru menerapkan contra flow di jalan tol, sehingga masih ada jalur yang bisa digunakan untuk kendaraan yang menuju ke timur.
Tetangga mertua Munzir harus menempuh perjalanan 30 jam dari Jakarta pada keesokan harinya, Selasa (19/6). Hari itu, pemerintah membuat kebijakan one way di jalan tol untuk arus balik menuju Jakarta, sehingga kendaraan yang menuju ke timur diarahkan ke jalur alternatif di pantura.
Terjebak macet karena kebijakan one way juga dialami Bambang Susanto, kepala Perwakilan Yogyakarta sebuah perusahaan swasta nasional. Dari pintu tol Cikarang pukul 07.00 Selasa (19/6), Rabu (19/6) pukul 01.00 dini hari ia baru tiba di Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. "Gara-gara kebijakan one way, jalurnya diputar-putar nggak karuan," ujar Bambang, Ahad (24/6).
Pada Selasa itu, ada 171.991 kendaraan yang balik ke Jakarta lewat pantura. Sebanyak 149.594 dari jumlah itu adalah sepeda motor. Bagi Bambang, dalam 15 tahun terakhir, ini perjalanan terlama ke Yogyakarta setelah Lebaran. Hari biasa, Cikarang-Jatilawang bisa enam jam.
Tak mau terjebak macet membuat Dwiyono selalu memilih kereta api untuk mudik ke Purwodadi-Grobogan. Sejak 2014 ia selalu naik kereta api saat mudik setelah tujuh tahun berhenti naik kereta, sejak 2007. Ia berani membawa mobil jika mudik selain waktu Lebaran. "Kereta sekarang sudah tepat waktu dan tak ada lagi rebutan kursi," ujar Dwiyono.
Saat terakhir naik kereta pada 2007, Dwiyono masih merasakan rebutan kursi dan berdesakan di kereta ekonomi. Banyak sekali penumpang yang membeli tiket berdiri, atau malah naik tanpa membeli tiket. "Saat tidur pun tiba-tiba ada ayam di kepala. Ada penumpang yang bawa ayam," kata Dwiyono.
Saat mudik kemarin, ia masih mendapati penumpang yang berdesakan masuk kereta. Namun itu semata karena kelalaian mereka yang boarding mendekati waktu keberangkatan.
"Ada penumpang yang belum bisa masuk kereta, karena berdesak-desakan, kereta sudah jalan," ujar Dwiyono.
Di kereta yang Republika.co.id naiki berbeda lagi kasusnya. Ketika menjelang masuk Stasiun Jatinegara, petugas harus mengamankan tas penumpang. Penumpang itu tertinggal di Stasiun Pasar Senen, karena setelah menaruh tas di bagasi kereta, penumpang itu turun lagi dan belum kembali ketika kereta api berangkat.
"Bila ada barang tertinggal di kereta api tentunya barang tersebut akan disimpan dan dititipkan di stasiun tujuan oleh petugas yang ada di dalam rangkaian kereta api. Apabila ada barang tertinggal di stasiun sama juga tentunya akan dititipkan di tempat penitipan, yaitu lost and found yang ada di Stasiun Pasar Senen mau ke Stasiun Gambir," ujar Humas PT KA Daop I Edy Kuswoyo, Ahad (24/6).
Untuk mendapatkan tiket mudik, Dwiyono membelinya tiga bulan sebelumnya. Karyawan swasta di Jakarta Barat itu bersama istrinya harus begadang dua malam untuk mendapatkan tiket karena banyaknya calon pembeli. Ia memantau lewat call center PT KA, istrinya memantau lewat media daring.
Meski tiket bisa dibeli secara daring, tapi pembatalannya harus datang di loket stasiun yang ditunjuk. Ini cukup merepotkan. Drummer Band Orind, Bhanu Prabhasworo, harus antre seharian di Stasiun Pasar Senen untuk membatalkan tiketnya pada Senin (18/6).
Pada 20 Juni, Bhanu menjadwalkan mudik ke rumah kakeknya di Purwodadi-Grobogan, tetapi ada order mendadak yang mengharuskannya manggung di Karawang pada 23 Juni. Dia pun harus membatalkan mudiknya.
Teman Dwiyono yang akan membatalkan tiket balik dari Semarang ke Jakarta memilih membatalkan tiketnya di Stasiun Tawang Semarang, Jawa Tengah. Menurut Dwiyono, saat hendak membatalkan tiket di Senen dan Gambir, teman Dwiyono itu mendapati antrean yang sangat panjang.
PT KA, menurut Edy, terus melakukan pemvenahan demi kenyamanan penumpang. "Diharapkan pada tahun 2018-2019 pembatalan tiket dan ganti jadwal berangkat sudah bisa lewat online," jelas Edy.
Saat mudik sebelum Lebaran kemarin, Dwiyono juga mendapat makan sahur gratis. Banyak penumpang yang tidak mengetahui hal ini sehingga ketika petugas restorasi kereta api menjual makanan, banyak yang membelinya. Ia mengetahui pengumuman adanya buka dan sahur gratis dari medsos, sehingga ia tak membeli makanan sahur.
Begitu makanan sahur digratis dibagikan, mereka yang sudah membeli makan sahur menyesali tak adanya pengumuman. "Kalau tahu ada sahur gratis kan nggak usah beli," ujar Dwiyono menirukan ucapan penumpang yang kecewa.
Mudik Naik Kereta, Dulu dan Sekarang
Lebaran kali ini wartawan Republika, Priyantono Oemar, berkesempatan naik kereta api. Berikut petikan pengalamannya.
Ini kali kedua saya naik kereta api lagi setelah memutuskan berhenti naik kereta api begitu Kereta Api Parahyangan Jakarta-Bandung pada 2010. Penumpang Parahyangan menurun drastis setelah tol Cipularang beroperasi sejak 2007. Ia pun ikut "merayakan" penutupannya untuk perjalanan Parahyangan terakhir pada 26 April malam di tahun 2010.
Pada Maret 2018 untuk pertama kalinya saya naik kereta api lagi dengan KA Argo Anggrek, kemudian diulang pada 20 Juni 2018 dengan KA Gumarang yang berangkat dari Senen pukul 15.45 menuju Stasiun Ngrombo. "Sudah bisa boarding kok sekarang, sampai 10 menit sebelum jam keberangkatan," ujar seorang petugas --yang berjaga di papan informasi elektronik kereta api yang sedang diperbaiki-- kepada saya, pukul 15.00.
Papan informasi elektronik itu dipajang cukup strategis, di depan pintu lorong antrean. Saat rusak, petugas berjaga di samping papan itu sehingga memudahkan calon penumpang bertanya.
Saat ada calon penumpang yang masuk lorong antrean memperlihatkan kertas putih, petugas itu segera mengarahkannya agar terlebih dulu mencetak tiket dengan cara men-scan kertas itu. Saat ada rombongan penumpang yang akan masuk antrean tetapi keretanya masih lama jam keberangkatannya, petugas itu mengarahkannya agar mereka beristirahat dulu menunggu sampai waktu boarding dibuka.
Beberapa porter berjaga dekat pintu lorong antrean, menunggu calon-calon penumpang yang membutuhkan bantuan jasanya. Sukardi, porter dengan nomor baju 138, mengaku libur dua hari saat Lebaran, dan mulai bekerja lagi sejak 17 Juni. "Sampai hari ini penumpang yang ke timur masih saja ramai," jelas Sukardi.
Menurut Edy, selama 5 Juni - 24 Juni ada 474.600 penumpang yang berangkat dari Pasar Senen dan baru kembali 298.642 penumpang. Pada kurun itu yang berangkat dari Gambir ada 340.441 penumpang dan yang kembali baru 246.146 penumpang. "Pada tanggal 24 Juni hingga pukul 12.00 yang berangkat dari Pasar Senen masih ada 17.915 penumpang dan dari Gambir 12.275 penumpang," ujar Edy.
Pemerintah menyiapkan kereta tambahan selama musim mudik. "Kami telah menyiapkan 393 kereta api baik kereta reguler maupun tambahan," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Selasa (5/6).
Pertama kali saya mudik pada Lebaran 1988 dengan KA Senja Utama menuju Semarang. Saat itu harus berjuang untuk mendapatkan tempat duduk di kereta. Tak mungkin berdesak-desakan di pintu masuk, saya memilih masuk lewat jendela lalu menguasai kursi di bawah jendela dengan menaruh tas di atasnya.
Agar kolong kursi tidak diserobot orang lain, saya pun langsung menggelar koran dan kemudian mendudukinya. Jika tidak begitu, ada saja penumpang dengan tiket berdiri tidur di kolong kursi sehingga mengganggu penumpang yang duduk di kursi ketika hendak geser-geser anggota badan.
Kini, peristiwa seperti itu telah menjadi kenangan bagi pengguna kereta api, bersama kenangan lain tentang masa lalu kereta api. Semua kereta --dari kelas eksekutif hingga ekonomi pun sudah ber-AC, tak ada lagi tiket berdiri.
Jika dulu tanpa membeli tiket orang bisa nggandul di pintu kereta api, kini tak bisa lagi. Penumpang harus check in dengan menunjukkan tiket resmi dan kartu identitas. "Penumpang anak pun akan ditanya namanya, meski tak diminta bukti identitasnya," ujar Dwiyono.
Dwiyono selalu membawa foto kopi akta kelahiran anak-anaknya. "Penumpang lain bahkan banyak yang membawa kartu keluarga asli," ujar Dwiyono yang balik ke Jakarta pada Ahad (24/6) dengan KA Gumarang dari Stasiun Ngrombo.
Dengan kereta api, Dwiyono dan anak-istrinya bisa tidur nyenyak. Pun tak perlu waswas bakal terjebak macet di perjalanan. "Jam berangkat dan datang kereta api sudah tepat waktu," kata penumpang yang sering memanfaatkan musim promo di bulan September itu.
Ia pernah bisa pulang kampung dengan tiket seharga hanya Rp 5.000 pada Hari Kereta Api Nasional, 28 September.