REPUBLIKA.CO.ID, Adinda Pryanka/Wartawan Republika
Mudik tidak hanya milik umat Muslim. Masyarakat non Muslim pun tak ingin tertinggal merayakan tradisi khas warga Indonesia ini. Salah satu di antaranya, Robby (40 tahun), lelaki asli Magetan yang merantau ke Bekasi sejak 10 tahun silam. Sehari jelang Lebaran, Kamis (14/6), ia berangkat dari rumah menuju kampung bersama sang istri, Retno (39 tahun).
Ini bukanlah pertama kali Robby mudik. Tiap tahun, ia selalu meluangkan waktunya untuk mealkukan perjalanan lintas provinsi demi bertemu dengan keluarga besarnya. "Karena, di saat Lebaran ini, semua adik, kakak dan sepupu biasa kumpul," tuturnya ketika ditemui Republika saat tengah bersantai di Rest Area Km 207 A Tol Palimanan-Kanci, Kamis (14/6) siang.
Robby tumbuh di keluarga yang memiliki ragam latar belakang, termasuk perbedaan agama. Keluarga besarnya didominasi umat Muslim, sementara ia memilih untuk menganut agama Katolik. Tapi, keragaman tidak lantas memutuskan tali silaturahmi, melainkan semakin menguatkan ikatan kekeluargaan Robby.
Saat mudik, Robby biasa melakukan sungkeman kepada sang Bapak yang sudah memasuki usia sepuh bersama dua adik dan tiga kakaknya. Sungkeman juga dilakukan oleh para keponakanan kepada budhe atau pakdhe-nya. Tradisi ini rutin dilakukan keluarga besar Robby untuk menjaga silaturahmi.
Setelah minta maaf ke satu sama lain, mereka pun nyekar ke makam Ibu yang berada tidak jauh dari rumahnya. Di sana, mereka berdoa dengan kepercayaan masing-masing.
"Biasanya, doa dipimpin sama adik saya yang lebih paham agama," ujar Robby yang keseharian bekerja sebagai pebisnis konveksi ini.
Kembali pulang ke rumah, keluarga besar Robby pun menyantap sajian yang sudah dihidangkan salah seorang budhe. Biasanya, menu yang dihadirkan cenderung tradisional khas Jawa seperti krupuk pasir dan bothok. Masakan inilah yang membuat Robby selalu ingin mudik ke kampungnya setiap tahun.
Masih dalam suasana Lebaran, keluarga besar Robby biasa menginap dalam satu rumah. Tapi, bukannya tidur cepat, mereka kerap menghabiskan malam dengan ngobrol sampai pagi. "Biasanya, generasi saya bersama keponakan yang usia 20an tahun kumpul nih, ngalor ngidul aja ngobrolnya," ujar Robby.
Tradisi mudik dan perayaan Lebaran Robby memang terbilang sederhana. Tapi, baginya, komunikasi yang akrab di tengah perbedaan agama justru membuatnya tidak pernah ingin tertinggal untuk kembali ke kampung setiap tahun.
Antusiasme mudik juga dirasakan oleh Billy Permana (37 tahun), warga asli Jakarta yang pulang kampung ke rumah kedua orang tuanya di Brebes, Jawa Tengah. Meski tidak merayakan Lebaran, bapak dari satu anak itu tetap ingin merasakan kehangatan keluarga pada libur panjang tahun ini.
Billy mengakui, Lebaran ini merupakan kali pertamanya mengikuti tradisi mudik setelah tinggal terpisah dengan orang tua pada 2015. Sebab, tahun-tahun sebelumnya, ia masih sulit mendapatkan libur panjang mengingat pekerjaannya sebagai supervisor proyek pembangunan yang sulit ditinggalkan. "Untung, tahun ini sudah bisa, jadi bisa ketemu orang tua di sana," ujarnya.
Tidak seperti Robby yang tumbuh di tengah keragaman agama, seluruh keluarga besar Billy merupakan non Muslim. Tapi, Billy tetap mengikuti tradisi mudik. Sebab, momen libur panjang yang bisa didapatkannya hanya ada pada jelang Lebaran ini.
Tradisi mudik memberikan pengalaman tersendiri bagi Billy. Salah satu momentum yang paling membekas adalah pemandangan deretan mobil 'terparkir' di bahu jalan pada sore hari untuk berbuka puasa. "Mereka gelar tikar, mengeluarkan bekal makanan dan makan di pinggir tol seperti rumah sendiri. Itu menarik sekali," ujar Billy yang turut membawa istri dan dua anaknya.
Setelah Lebaran tahun ini, Billy berencana untuk melakukan tradisi mudik setiap tahun. Sebab, jika pulang kampung di hari biasa, ia tidak akan merasakan euforia yang tinggi seperti saat jelang Lebaran ini. Meski harus merasakan tersendat di beberapa titik ruas tol, ia masih bisa menikmatinya.