REPUBLIKA.CO.ID, ADEN -- Idul Fitri kian dekat, umat Muslim di seluruh dunia sibuk mempersiapkan diri menyambut Lebaran dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Di negara dengan mayoritas warga beragama Islam, rakyat bergegas ke pasar dan pusat perbelanjaan untuk pakaian baru buat Idul Fitri dan hadiah untuk merayakan Hari Raya tersebut, terutama selama 10 hari terakhir Ramadhan.
Namun, keadaannya berbeda di Yaman. Di negara Arab yang dirongrong pertempuran ini, kebanyakan orang mengeluh dengan sedih mengenai harga barang, terutama pakaian yang meroket.
Um Mothana As-Salahi, ibu empat anak dari Kota Pelabuhan Aden di Yaman Selatan, tampak kelelahan dan tertekan saat ia terus bergerak dari toko ke toko di permukimannya, dalam upaya membeli pakaian Lebaran buat anak-anaknya.
"Saya mendapat celana pendek dan kaus yang cocok buat anak-anak saya di beberapa toko. Tapi sayangnya, saya tak bisa membelinya," kata ibu tersebut. Ia menambahkan harga pakaian di Aden, yang dikuasai pemerintah, jauh lebih mahal dibandingkan yang ia bayangkan.
Ia mengatakan uang di dompetnya nyaris tidak cukup untuk membeli celana pendek dan kaus buat satu anak sekalipun. "Saya menghabiskan waktu beberapa jam untuk mencari pakaian yang murah di mana saja di pasar, tapi akhirnya saya menyerah dan tak mendapat apa pun buat anak-anak saya," ia mengeluh.
Haitham Ali, seorang prajurit yang baru direkrut, juga mengatakan ia tak bisa membeli pakaian untuk dua anaknya, mengingat gaji bulanannya yang kecil. "Saya menerima gaji 60 ribu riyal Yaman (240 dolar AS) dan pakaian dua anak saya berharga rata-rata 49 ribu riyal. Saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan dengan gaji yang tak berdaya ini," kata Ali.
"Bagaimana dengan biaya lain kehidupan dan apa yang akan kami makan dan minum jika saya memutuskan membeli pakaian baru buat anak-anak saya dengan hampir seluruh gaji saya?" ia mempertanyakan.
Amri Yusif, seorang pegawai pemerintah, menyalahkan Pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi karena tidak memperlihatkan minat untuk memantau dan mengendalikan kenaikan harga semacam itu sebelum Idul Fitri. "Kenaikan harga pakaian tahun ini telah mencapai tingkat yang tak pernah terjadi sebelumnya. Pemilik toko dengan leluasa menetapkan harga barang dagangan mereka sesuka mereka," kata Yusif.
"Misalnya, sepasang sandal kulit buatan pabrik di Turki berharga 19 ribu riyal di Aden," kata pegawai pemerintah tersebut.
Arwa Saleh, perempuan pengacara pemerintah, juga menuduh pedagang memanipulasi harga. "Para pedagang melipatgandakan harga dan memanfaatkan Idul Fitri sebagai kesempatan emas untuk meningkatkan penghasilan dengan cepat sebab mereka tidak takut terhadap hukuman atau denda karena negara ini masih dalam kondisi perang," wanita itu menjelaskan.
Namun, pemilik toko dan pedagang lokal menyatakan harga pakaian yang melonjak terjadi karena kemerosotan cepat nilai tukar riyal Yaman terhadap mata uang asing, terutama dolar AS.
"Harga pakaian yang tinggi bukan kesalahan kami, Harga bahan bakar yang naik dan kesulitan mengimpor barat dari luar negeri karena negeri ini menghadapi blokade, serta pajak yang tinggi yang diberlakukan oleh pemerintah adalah penyebab utama di balik krisis ini," kata Amjad Hutaibi, seorang pengusaha di Aden.
Konflik militer antara gerilyawan Syiah Al-Houthi, yang didukung Iran, dan Pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi baru-baru ini memasuki tahun keempat, dan mengarah ke krisis kemanusiaan paling parah di dunia. Lebih dari 22 juta orang di Yaman, atau tiga perempat penduduk negeri itu, sangat memerlukan bantuan kemanusiaan, termasuk 8,4 juta orang yang berjuang memperoleh makanan mereka selanjutnya.