REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jauhar Ridloni Marzuq, Dai Ambassador Dompet Dhuafa Perancis.
PARIS -- Saya cukup kaget ketika Mas Ari, pengurus Permiip yang menyambut kedatangan saya, menyodorkan jadwal imsakiyah Ramadhan kota Paris dan sekitarnya. Tertulis bahwa waktu Subuh pukul 04.04 dan waktu Maghrib 21.35 waktu Paris. Semakin hari, waktu Maghrib semakin menjauh dan waktu Subuh semakin cepat.
Jadwal yang tertulis untuk tanggal 30 Ramadhan nanti, misalnya, Subuh: 03.31 dan Maghrib 21.59. Itu artinya, rata-rata kami berpuasa di Paris, kota yang dijuluki sebagai Kota Cahaya, adalah 18-19 jam. Wow..!!! Sangat efektif untuk menurunkan berat badan.
Meski tergolong lama, puasa di Paris tidak terasa begitu berat. Cuaca yang relatif dingin tidak membuat kita haus atau dahaga. Yang mungkin cukup terasa adalah lapar. Cuaca dingin selalu membuat seseorang lebih mudah lapar. Ini sering kita alami di Indonesia, misalnya, saat musim hujan, di mana perut terasa sering bersuara dan ingin makan, apalagi melihat gorengan.
Tetapi, godaan puasa di Paris bukan hanya dari sisi waktu yang panjang. Seorang jamaah perempuan mengeluhkan kawannya yang sebenarnya juga Muslimah, yang sering mengolok-oloknya ketika ia berpuasa.
"Ah lu ngapain berpuasa? Menyusahkan diri sendiri!"
Buka puasa bersama KOmunitas Muslim Indonesia di Paris, Prancis
Di lain waktu, kadang-kadang kawannya itu bahkan sengaja makan di depannya untuk menggodanya. Entah maksudnya bercanda atau tidak, tapi itu sudah membuat perempuan tersebut kesal.
"Kawan saya yang non-Muslim lebih memahai kita, Ustadz," ceritanya lagi.
Menurutnya, kawan non-Muslim bahkan tidak mau makan di depannya ketika dia sedang berpuasa, sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Saya juga heran, kenapa yang Muslim justru tidak menghargai kesucian Ramadhan? Apa karena terbawa budaya Eropa? Ah tidak juga. Seperti yang diceritakan salah satu jamaah tadi, kawannya yang dari Perancis, asli orang Eropa dan beragama non-Muslim, justru menghormati pilihannya untuk berpuasa.
Berbuka tanpa suara adzan
Godaan lain yang tentu didapati oleh kaum Muslimin yang berpuasa di Paris, seperti negara-negara minoritas Muslim lainnya, adalah suasana Ramadhan yang tidak terasa seperti Ramadhan. Perancis sebagai negara sekuler tentu tidak seperti di Indonesia atau negara-negara mayoritas Muslim yang selalu mengkondisikan suasana Ramadhan dengan berbagai syiar Ramadhan.
Hal itu seperti tarawih yang semarak, buka puasa di berbagai tempat (baik yang terbuka maupun tertutup), bacaan-bacaan Al-Quran yang bersahut-sahutan, siaran televisi, radio, koran yang dipenuhi dengan sajian-sajian tertemakan Ramadhan, dan lain sebagainya.
Di Paris, sama sekali tidak terasa semua itu. Bagi Paris, tidak ada bedanya antara Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Jangankan untuk mendengar sahut-sahutan ayat Alquran yang sering mengiringi kita sebelum bedug Maghrib, azan Maghrib pun tak pernah kita dengar.
Bagi umat Islam yang berpuasa, suara Azan Maghrib adalah hal yang sangat ditunggu dan dinanti-nanti. Ketika suara takbir adzan terdengar, berhampuran anak-anak kecil berebut makanan, orang dewasa mengambil minuman, ibu-ibu dan wanita menyantap hidangan, semua bergemira riang. Hal itu adalah potret yang kita temukan di Indonesia.
Suasana pengajian komunitas Muslim Indonesia di Paris, Prancis.
Di Paris?
Jangan berharap. Jika tidak berbuka di Masjid, maka bisa dipastikan anda akan berbuka tanpa lantunan suara Azan. Azan di Paris tidak boleh dikeraskan keluar ruangan masjid. Bagi yang berbuka di rumah, maka yang bisa dia lakukan hanyalah melihat jadwal imsakiyah yang tertera di layar hape atau selebaran yang dibagikan oleh Grande Mosquee De Paris.
Susahnya shalat berjamaah
Ramadhan semestinya menjadi momen mendulang pahala bagi setiap Muslim, termasuk mendulang pahala dari shalat berjamaah. Tapi di Paris, shalat jamaah terbilang cukup susah.
Masjid di Paris tidaklah banyak. Masjid yang terdekat dari tempat saya tinggal di KBRI Paris, sekitar 2.5 kilometer dari lokasi masjid. Tidak jauh sebenarnya kalau kita punya kendaraan pribadi. Tapi jika tidak punya, kita harus menuju ke sana dengan menggunakan metro bawah tanah dua kali operan.
Bagaimana kalau jalan kaki? Bisa, tapi harus siap tenaga karena anda akan menempuh perjalanan selama setengah jam. Di sinilah shalat berjamaah menjadi terasa susah. Di KBRI, kami hanya bisa melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Shalat dhuhur berjamaah tidak bisa kami langsungkan karena berbenturan dengan waktu kerja. Sementara shalat Maghrib, Isya dan Subuh tidak memungkinkan karena semua orang sudah pulang kerja.
Selain jarak, kesusahan lain Shalat berjamaah di Paris adalah ruangan dan jumlah masjid yang sangat terbatas. Perbadingan antara jumlah masjid dan jumlah kaum Muslimin tidak setara. Belum lagi, kebanyakan masjid di Paris hanya dibuka setengah jam sebelum waktu shalat sampai setengah jam setelahnya. Jika kita datang satu jam setelah waktu masuk Dhuhur, misalnya, maka kita akan mendapati masjid telah ditutup dan tidak bisa dipakai berjamaah.
Di Masjid Ar-Raheem, di kawasan Javel tempat biasa saya berjamaah Dhuhur dan Ashar, pengelola masjid harus membuat jarak antar shaf sangat pendek agar bisa menampung lebih banyak jamaah. Karena pendeknya jarak shaf, terasa sekali kurang sempurna ketika sujud, di mana dalam sujud kita sebenarnya disunnahkan untuk merenggangkan antar lambung dan paha.
Tapi apa daya, itulah yang bisa dilakukan oleh pengurus Masjid untuk menyiasati banyak jamaah. Sudah menyiasati demikian pun masih belum mampu menampung semuanya, sehingga sering kali ada jamaah susulan. Di banyak masjid, Shalat Jumat harus dilakukan dua gelombang karena kapasitas tempat tidak memungkinkan.
Buka Bersama Pelipur Lara
Meski dengan sekian banyak kekurangan, ada satu hal yang membuat masyarakat Muslim Indonesia senang, yaitu setiap akhir pekan, pada hari Sabtu, KBRI Paris menggelar acara buka puasa bersama. Selain bisa bertemu dan bersilaturrahim dengan masyarakat Indonesia, di acara ini kita juga bisa mendapatkan aneka ragam hidangan khas Indonesia, seperti ayam penyet, rendang, rica-rica, ayam bali, kolak, es cendol, dan lain sebagainya.
Selain buka bersama, di momen ini masyarakat Muslim Indonesia juga mendapatkan siraman rohani dari ustadz dan penceramah yang didatangkan langsung dari Indonesia. Siraman rohani atau kajian keislaman dilakukan sekitar dua jam sebelum berbuka. Pada tahun ini, seperti dua tahun sebelumnya, KBRI Paris dan Persatuan Masyarakat Islam Indonesia Perancis (Permiip) bekerjasama dengan Dompet Dhuafa mendatangkan da'i guna mengisi kegiatan keIslaman selama Ramadhan.
Berbuka dengan masyarakat Indonesia tentu sangat menggembirakan. Kita bisa bercengkerama dengan orang-orang yang senasib seperantauan. Momen seperti inilah yang menjadi pelipur lara untuk mengobati kerinduan kita menjalani bulan puasa di Indonesia.