REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Di Gaza, Palestina, Ramadhan jatuh hanya berselang beberapa hari usai hari paling berdarah di tengah protes yang sedang berlangsung terhadap Israel dan Amerika Serikat (AS). Di daerah kantong Palestina di Gaza, lebih dari 60 orang tewas.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Gaza, ribuan warga Gaza dilaporkan terluka karena aksi protes itu. Korban tewas, hampir dua kali lipat lebih banyak sejak protes dimulai pada akhir Maret. Pertumpahan darah itu menjadi jalan terakhir Gaza, yang diapit oleh dua perbatasan yang dijaga ketat dan jarang dibuka, yakni Israel dan Mesir.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menggambarkan wilayah terpencil itu sebagai daerah darurat kemanusiaan. Seorang aktivis yang mendirikan kelompok hip-hop lokal Rapperz Palestina, Ayman Jamal Mghamis mengatakan situasi Gaza menjadi sangat tragis. Ia menggambarkan bagaimana kondisi kehidupan masyarakat di daerahnya.
"Pasarnya kosong, seolah-olah Ramadhan belum datang, karena setiap tahun tidak ada sukacita dan tidak ada harapan," kata Mghamis dilansir di Newsweek, Senin (21/5).
Ia mengatakan banyak keluarga berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan, banyak dari mereka kesulitan menemukan sepotong roti untuk berbuka puasa saat Ramadhan.
Bocah Palestina memegang lentera Ramadhan di Jalur Gaza, Palestina, guna menyambut Ramadhan.
"Situasi saat ini lebih sulit daripada yang bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata," ujar dia.
Jatuhnya korban jiwa, membuat Israel menyalahkan gerakan islamis Palestina, Hamas. Hamas disebut-sebut menjadi pihak yang bertanggung jawab pecahnya kekerasan baru-baru ini.
Tuduhan itu dipicu klaim pejabat Hamas yang menyebut ada 50 orang dari total korban tewas adalah anggota organisasi itu. AS telah menyelaraskan diri dengan posisi Israel, membebaskan negara yang bersalah atas kematian warga sipil atas nama keamanan perbatasan.
Sebagian besar korban jiwa berjatuhan pada 14 Mei. Ketika itu, Israel menanggapi aksi protes dengan gas air mata dan peluru ke kerumunan orang Palestina di perbatasan Israel-Gaza.
Warga sipil melakukan aksi protes dengan melempar batu dan membakar ban memprotes pembukaan Keduataan Besar AS untuk Israel di Yerusalem. Kota Yerusalem diklaim oleh Israel dan Palestina sebagai ibu kota mereka.
Dua lagi warga Palestina ditembak mati pada Selasa (15/5) ketika mereka berdemonstrasi memperingati Hari Nakba pada 1948 yang menandai pemindahan massal orang Palestina dan pembentukan negara Israel. Sejak hari pembentukan itu, Gaza telah menanggung beban dari konflik Palestina-Israel, termasuk bentrokan mematikan antara faksi Palestina bersenjata dan pasukan keamanan Israel, yang sering merespons dengan senjata yang luar biasa.
Hamas telah mengendalikan Gaza sejak 2007 setelah bertikai dengan barisan politik tradisional Palestina, Fatah, yang menjalankan Tepi Barat. AS dan Israel menganggap Hamas sebagai organisasi teroris karena menargetkan warga sipil dalam serangan dan pemberontakan di masa lalu. Namun, kelompok itu menata diri sebagai gerakan perlawanan dan menggunakan kerusuhan baru-baru ini sebagai kesempatan menyalurkan kemarahan dan frustrasi warga Palestina yang hidup di Gaza.
Isolasi fisik Gaza karena blokade Israel yang melemahkan dan pengucilan politik yang berasal dari perpecahan ideologisnya yang mendalam dengan Fatah telah memisahkannya hampir seluruhnya dari dunia luar. Mghamis menggambarkan situasi yang mengerikan di mana penduduk setempat hidup tanpa makanan, air, listrik atau harapan.
Semua pintu tertutup dari segala arah dan korban berjatuhan. "Setelah perang, orang-orang menjadi kelelahan dan hari ini hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk," ujar dia.
Pada 14 Mei adalah hari paling mematikan di Gaza sejak musim panas 2014. Perang itu juga bertepatan dengan Ramadhan, merusak makna bulan suci yang ditujukan untuk memperdalam iman dan kebersamaan dengan keluarga.
Bocah Palestina mainkan kembang api untuk merayakan awal bulan suci Ramadhan di Kota Gaza, Palestina.
Komisaris Hak Asasi Manusia PBB Zeid Ra'ad al-Hussein mengatakan kontras tajam jatuhnya korban jiwa di kedua pihak, menunjukkan respons yang sangat tidak proporsional. Pendudukan harus berakhir sehingga rakyat Palestina dapat dibebaskan, dan orang-orang Israel dibebaskan darinya. "Akhiri penjajahan, dan kekerasan dan ketidakamanan sebagian besar akan hilang," kata dia.
Seorang aktivis pemuda di Gaza, Farah Baker menegaskan orang-orang yang tinggal di Gaza ingin hidup. Kendati, setiap tahun mereka mengalami keadaan yang sulit.
"Suasana di sini, di Gaza saat Ramadhan tidak seperti setiap tahun," ujar dia.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengumumkan negaranya membuka perbatasan Rafah sementara untuk meringankan beban masyarakat di Gaza selama Ramadhan. Setidaknya, 13 senator AS telah menandatangani surat yang menyerukan Presiden Donald Trump dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo membantu meringankan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.
"Masalah terbesar adalah tidak ada yang tertarik dan tidak ada yang peduli. Hari ini, kita sebagai manusia berdiri sendiri dalam menghadapi pendudukan, krisis, dan perpecahan," kata Mghamis.