Para Ibu Indonesia yang Berpuasa di Jepang

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah

Senin 21 May 2018 18:41 WIB

Puasa Ala Ibu Rumah Tangga di Jepang  Foto: Dok Pribadi Puasa Ala Ibu Rumah Tangga di Jepang

REPUBLIKA.CO.ID,  FUJISAW A-- Masyarakat khususnya kaum ibu saat bulan puasa tiba disibukkan dengan aktivitas ibadah, sosial, dan keluarga. Waktu mereka selain ibadah banyak tersita untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga, mulai dari membangunkan anggota keluarga, menyiapkan sahur, hingga berbuka.

Kegiatan mereka meningkat dibanding kegiatan di hari-hari biasa. Kesabaran ibu rumah tangga semakin diuji mana kala keluarga mereka tidak menghabiskan Ramadhan di negeri sendiri.

Culture shock atau dalam istilah Indonesia disebut gegar budaya kerap mereka hadapi. Ini pula yang dirasakan Merzytha Septiyani (30 tahun) asal Jakarta.

Itha, demikian panggilan akrabnya sekitar Maret 2018 pindah ke Jepang menyusul sang suami, Arki Yudha Arsono (32) yang berkuliah di Media and Governance Graduate School, Keio University. Di Jepang, wanita yang setelah menikah berdomisili di Yogyakarta ini harus beradaptasi dengan budaya dan kehidupan setempat.

Wanita yang empat tahun pernah bekerja di World Wildlife Fund (WWF) ini harus terbiasa mengonversi mata uang, menyesuaikan makanan dan minuman, terutama makanan halal, dan terkadang mengalami lost in translation. Meski pandai berbahasa Inggris, ibu dari Kata Gumira Anjatana (2) ini sering mengalami gagap bahasa karena penduduk setempat umumnya tak bisa berbahasa Inggris dengan lancar.

Tahun ini kali pertama Itha dan Arki menjalani ibadah puasa di Fujisawa. Lama puasa di Negeri Sakura sekitar 16 jam, lebih lama dari Indonesia. Pagi hari setelah suami berangkat kuliah, Itha menyempatkan olah raga sembari mengajak putranya bermain di taman. Siang hari ibu muda ini menyiapkan bahan berbuka puasa, dan sorenya kembali bermain ke taman.

"Sosial media sering membuat kami homesick. Panganan di bulan puasa dan suasana khas Ramadhan di Indonesia sama sekali tak terasa di sini," kata Itha kepada Republika.co.id, Senin (21/5).

Beberapa hari ini di Chogo, Apato - tempat tinggal Itha dan Arki - sedang digelar  matsuri, sejenis festival keagamaan yang banyak menjual makanan tradisionalJepang. Itha bisa membeli beberapa jenis makanan halal yang bisa dinikmati untuk berbuka dan sahur, seperti okonomiyaki dan takoyaki.

photo
Matsuri, festival di Jepang yang menyediakan aneka makanan tradisional Jepang dimanfaatkan muslim-muslim di Chogo, Apato untuk membeli beberapa jajanan berbuka puasa.

Arki bercerita keluarga Muslim di Apato sangat sedikit. Di kompleks apartemen mereka misalnya, cuma ada enam keluarga Muslim dan sebagian dari mereka single sekaligus pelajar. Aktivitas keagamaan Muslim biasanya digelar di kampus.

"Masjid dari tempat tinggal kami berjarak sekitar enam kilometer. Acara buka bersama biasanya digelar di kampus," kata Arki.

Ramadhan tahun ini juga memasuki musim panas yang lebih panas dari Indonesia.Pemandangan orang makan dan minum saat puasa di tempat umum di Jepang, sebut Arki sangat biasa. Momen Maghrib selalu dinanti sebab itu waktunya berbuka.

"Suasana Maghrib di Jepang seperti sore sekitar pukul 16.00 WIB di Jakarta. Masih terang benderang," ujarnya.

Pengalaman puasa panjang di Jepang juga dirasakan Dian Novitasari (32). Perantau asal Rembang, Jawa Tengah ini sudah tinggal di Jepang sejak 2011.

Dian bersama suami dan dua anaknya tinggal di Ishikawa, Prefektur Kanazawa. Wanita berhijab ini sehari-harinya juga peneliti di Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST). Hal berbeda yang dirasakan Dian puasa kali ini adalah putra sulungnya, Rizqi (6) perdana berlatih puasa setengah hari.

"Ketika jam makan siang, Rizqi makan siang bersama teman-temannya di sekolah, kemudian melanjutkan puasa kembali hingga waktu berbuka tiba," kata Dian.

Orangtua Muslim di Jepang biasanya meminta perlakuan khusus untuk anak-anak mereka. Anak yang sudah berpuasa penuh diizinkan menggunakan jam makan siang untuk Shalat Dzuhur dan istirahat di perpustakaan. Mereka diizinkan pulang dijemput orang tua, tidak jalan kaki.

Menjalani puasa di negara yang komunitas Muslimnya kecil mengajarkan Dian untuk mempererat persaudaraan sesama Muslim. Ini yang membuat Dian bergabung dalam JAIST Muslim Circle (JMC) yang beranggotakan Muslim dan Muslimah yang berafiliasi di kampus JAIST. Mereka berasal dari berbagai negara termasuk Indonesia, Malaysia, Jepang, Mesir, Arab Saudi, Bangladesh, Pakistan, Tunisia, Suriah, India, dan Cina.

photo
Salah satu komunitas Muslim di Jepang, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) Muslim Circle, disingkat JMC mengadakan buka puasa bersama. JMC beranggotakan Muslim dan Muslimah yang berafiliasi di kampus JAIST, yaitu pelajar, peneliti, serta keluarganya. Mereka berasal dari berbagai negara termasuk Indonesia, Malaysia, Jepang, Mesir, Arab Saudi, Bangladesh, Pakistan, Tunisia, Syiria, India, dan Cina

Dian juga bagian dari Keluarga Muslim Indonesia Ishikawa (KMII). Wanita kelahiran 30 November 1985 ini pun berkesempatan besar mengenalkan Islam pada penduduk lokal yang sebelumnya tak pernah dilakukannya.

Ramadhan tahun ini Dian berharap semakin banyak orang Jepang mau mencari informasi danberinteraksi langsung dengan komunitas Muslim setempat. Hal ini penting sekali untuk memperbaiki citra Muslim di mana pun berada. Dian juga bermimpi memiliki buku-buku Islam berbahasa Jepang untuk anak-anak.

"Dengan buku, insya Allah kita bisa menyampaikan ajaran Islam dan teladan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Jepang sejak usia dini," katanya.

 

Terpopuler