REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan durasi waktu berpuasa pada bulan Ramadhan menjadi tantangan tersendiri bagi umat Muslim di setiap negara. Di banding di Indonesia, umat Muslim di India harus menjalani puasa dengan durasi yang lebih lama. Di Indonesia, umat Muslim menjalani puasa sekitar 13 jam. Sementara di India, puasa pada Ramadhan kali ini harus dijalani selama sekitar 15 jam 38 menit.
Bagi Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) dan Mantan Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan RI, Prof Tjandra Yoga Aditama, rentang waktu puasa di India yang lebih lama dibanding Indonesia membuatnya harus menyesuaikan diri.
Meskipun, tahun ini menjadi tahun ketiganya menjalani ibadah puasa Ramadhan di India. Saat ini, Prof Tjandra bertugas sebagai Senior Adviser di WHO South East Asia Regional Office (SEARO) di New Delhi, India.
Tak berbeda dengan Indonesia, hari pertama puasa Ramadhan di India juga dilakukan hari ini, Kamis (17/5). Namun, Prof Tjandra mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapinya saat menjalani ibadah yang merupakan Rukun Islam yang ke-4 di negara di Asia Selatan tersebut.
(Baca: Muslim Edmonton Awal Ramadhan dengan Berpuasa 19 Jam)
"Ada cukup banyak perbedaan dengan situasi di tanah air. Rentang waktu puasa akan lebih lama di sini dibanding di tanah air," kata Prof Tjandra melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (17/5).
Akhir waktu sahur atau di India disebut 'end of sehri' adalah pukul 03.59 dini hari, dan pada akhir Ramadhan (15 Juni) batas waktu sahur akan maju menjadi pukul 03.47. Sementara itu, Iftar atau waktu berbuka puasa di sana ialah pukul 19.07 malam. Sedangkan pada akhir Ramadhan, waktu berbuka puasa akan lebih lama yakni pada pukul 19.20 malam.
Infografis Ramadhan
Selain soal waktu, tantangan yang dihadapi pada Ramadhan kali ini adalah badai. Prof Tjandra mengungkapkan, beberapa hari ini tengah terjadi badai debu 'dust storm' di India, di mana angin berhembus sangat kencang disertai debu. Menurutnya, badai tersebut telah menelan banyak korban jiwa.
"Kemarin beberapa pohon di dekat rumah saya juga pada bertumbangan, padahal mobil di New Delhi ini banyak yang di parkir di bawah pohon, karena sebagian besar rumah tidak memiliki garasi," lanjutnya.
Selanjutnya, tantangan yang dihadapinya adalah panasnya cuaca di sana. Ia mengungkapkan, hari pertama puasa di New Delhi bersuhu sekitar 41 derajat Celcius. Sementara ramalan cuaca menunjukkan, bahwa 26 Mei suhu di New Delhi akan berkisar 45 derajat.
Polusi parah menghalangi pandangan di setiap jalanan di New Delhi.
Beruntung, Prof Tjandra mengatakan bahwa ia akan menghindari panas New Delhi dengan pergi ke Tokyo, Jepang, selama beberapa hari di akhir Mei nanti. Namun, lain tempat lain pula tantangannya. Rupanya di Tokyo, waktu subuh di awal Juni adalah pukul 02.50 dini hari. Artinya, durasi puasa di Tokyo juga lebih lama dari India.
"Mei dan Juni memang biasanya lagi amat panas-panasnya di New Delhi. Karena saking panasnya, maka pendingin ruangan jadi laku keras, baik AC sebagaimana yang biasa kita ketahui, maupun 'AC jerami'," ujar Prof Tjandra.
AC Jerami merupakan 'cooler' atau alat pendingin yang berupa kotak dari semacam jaringan kawat. Prof Tjandra menuturkan, dinding dan isi kotak tersebut terdapat lempengan jerami dan di dalamnya dimasukkan air. Jika AC biasa sudah tidak dingin, umumnya Freon dari AC tersebut akan diganti. Sedangkan pada AC Jerami, yang diganti ialah jerami tersebut.
Di sepanjang jalan di New Delhi, menurutnya, penjual 'lempengan jerami' dapat ditemui dengan mudah untuk pendingin AC Jerami ini. Pendingin jenis ini akan memberikan udara sejuk, meskipun tidak sedingin AC. AC Jerami memiliki ciri khas dengan suaranya yang sangat bising.
Selain panas yang menyengat, masalah lain yang dihadapinya di New Delhi adalah polusi udara. data dari "Breathelife" (WHO dan UNEP) menunjukkan, kadar polusi udara di New Delhi adalah 14,3 kali lebih buruk dari kadar aman. Hal itu ditandai dengan kadar PM 2,5 di kota ini adalah 143 g/m3. Sementara batas aman menurut WHO adalah hanya 10 g/m3. Sebagai gambaran, data "Breathlife" menunjukkan kadar PM 2,5 di Jakarta adalah 45 g/m3. PM 2,5 menunjukkan ukuran "particulate matter" (partikel di udara) sebesar 2,5, cukup kecil, sehingga akan masuk langsung ke dalam paru-paru manusia.
"Jadi memang lain tempat lain tantangannya, semoga semua membuat ibadah di bulan Ramadhan ini barakah, di manapun tempatnya," tambahnya.