Memahami Esensi Puasa

Rep: Muhyiddin/Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko

Rabu 16 May 2018 19:25 WIB

Ramadhan Foto: IST Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak lama lagi, Ramadhan akan tiba. Selama satu bulan penuh, umat Islam diwajibkan berpuasa seharian, dari waktu subuh hingga azan maghrib berkumandang.

Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, esensi berpuasa tidak sekadar menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkan, melainkan juga perbuatan-perbuatan tercela pada umumnya.

Bulan Ramadhan, lanjutnya, mendidik umat Islam agar lebih peka dalam menjalani kehidupan. Setiap Muslim hendaknya mencegah kemunkaran dan mengimbau pada kebaikan di mana pun berada.

(Baca Juga: Kisah Pilu Muslim Rohingya Menyambut Ramadhan)

Karena itu, Haedar Nashir melihat makna imsak tidak hanya tentang larangan makan dan minum. Rasulullah SAW sendiri telah mengingatkan umatnya,betapa banyak orang yang berpuasa Ramadhan tetapi pada akhirnya hanya merasakanlapar dan haus. Pahalanya terkikis akibat tidak mampu menahan lisan danperbuatannya dari pelbagai macam kemunkaran.

Dalam konteks keumatan dan kebangsaan di Indonesia saat ini,penting untuk memaknai imsak secara holistik.

“Menahan diri dari segala ucapan dan tindakan yang merugikan orang lain, seperti berbohong, (menyebarkan) hoaks, menggunjing, menghasut, menyebar kebencian dan permusuhan, (melakukan) kekerasan, dan anarki,”ujar Haedar Nashir, Rabu (16/5).

Selain itu, perlu menahan diri dari sikap berlebihan dan rakus atas harta, tahta, dan (kesenangan) dunia yang menyebabkan lupa diri dan menghalalkan segala cara.

photo
Infografis Ramadhan

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mujib Qulyubi menjelaskan bahwa pada hakikatnya makna puasa dalam konteks kebangsaan adalah menahan diri egoisme kelompok. Karena itu, dia menyerukan agara umat Islam melepaskan egoisme kelompok masing-masing pada bulan Ramadhan, sehingga bangsa ini tidak menjadi gaduh.

"Jadi dalam puasa ini menahan diri itu agar tidak mengedepankan ego masing-masing kelompok yang bisa merusak bangsa. Karena merusak bangsa itu pasti bukan ajaran agama apapun," ujar KH Mujid saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (16/5).

(Baca: Jaga Niat Puasa)

Menurutnya, setiap pribadi bangsa hendaknya selalu mengedepankan toleransi di Bulan Ramadhan. Masing-masing tidak boleh ada yang merasa paling benar, tapi fokus saja untuk beribadah kepada Allah. "Jadi jangan merasa paling benar. Ayo kita asah batin kita, jangan hanya otak kita. Sekarang ayo turunkan tensi menuju damainya hati kita di dalam negara yang tenang," ucapnya.

Namun, kadangkala ada sebagai orang masih ada yang merasa paling bertakwa dan paling taat beribadah di bulan Ramadhan. Menurut dia, tingkat ketakwaan itu tidak seharusnya disombongkan dan menganggap remeh orang lain. "Jangan menganggap manusia lain remeh. Toleransi dan pluralisme memang sangat diajarkan oleh Allah melalui puasa," katanya.

Terpopuler