REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Bulan Ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nanti oleh umat Muslim di seluruh dunia. Karena Ramadhan menjadi bulan penuh berkah dan disambut dengan sukacita.
Namun, tidak demikian bagi Muslim Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar di Bangladesh. Mereka harus menyambut Ramadhan dengan duka dan pilu.
Bagi MD Hashim dan yang lain sepertinya yang hidup dalam kemelaratan di Bangladesh, awal Ramadhan menjadi semacam pengingat yang pahit akan segala yang telah hilang sejak mereka diusir dari Myanmar dalam sebuah kekerasan militer. Dalam benaknya, pengungsi berusia 12 tahun itu memimpikan Ramadhan ini ia bisa kembali ke desanya sendiri.
Kenangan terngiang dalam benaknya saat ia berbuka puasa dengan hidangan ikan, yang menjadi hadiah dari keluarganya, dan bersantai di bawah pepohonan sebelum shalat Isya di masjid.
"Di sini, kami tidak dapat membeli hadiah dan tidak memiliki makanan yang baik, karena ini bukan negara kami," kata Hashim kepada AFP di sebuah bukit tandus di Cox's Bazar, seperti dilansir di Daily Mail, Rabu (16/5).
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menggambarkan tindakan tentara Myanmar yang melakukan persekusi terhadap minoritas yang teraniaya sebagai pembersihan etnis. Ribuan Muslim Rohingya diyakini telah dibantai dalam aksi kekerasan yang dimulai Agustus 2017 lalu.
Akibatnya, hampir 700 ribu penduduk Rohingya melarikan diri dari kekerasan tersebut ke Bangladesh. Di kamp pengungsian inilah, mereka tinggal di gubuk bambu dengan terpal di atas lereng tanah.
Meskipun mereka mengakui bahwa mereka beruntung bisa melarikan diri dari kekejaman tentara Myanmar. Namun di sisi lain, dengan kesulitan makanan dan uang serta suhu yang panas, Ramadhan kali ini menjadi sumber kecemasan bagi banyak warga Rohingya.
Sembari duduk di dalam tenda plastik di hari yang terik, Hashim tak keberatan mengingat kembali kesenangan sederhana yang membuat Ramadhan menjadi saat yang paling menyenangkan sepanjang tahun di desanya. Setiap malam, teman-teman dan keluarga akan berbuka puasa bersama dengan hidangan ikan dan daging yang dimasak hanya sekali dalam setahun dalam bulan suci Ramadhan tersebut. Sementara itu, mereka akan ditawari pakaian baru yang diberi parfum tradisional yang disebut 'attar' untuk menandai hari libur.
"Kami tidak dapat melakukan hal yang sama di sini, karena kami tidak memiliki uang. Kami tidak memiliki tanah kami sendiri. Kami tidak dapat menghasilkan uang, karena kami tidak diizinkan," lanjut Hashim.
Penduduk Rohingya dilarang bekerja dan lebih dari dua lusin pos pemeriksaan militer melarang mereka pergi dari apa yang telah berkembang menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia. Karena itu, mereka hanya mengandalkan amal untuk segala kebutuhan mereka, dari mulai makanan, obat-obatan, hingga pakaian dan bahan-bahan untuk rumah. Hashim harus berjalan lebih dari satu jam di tengah panas terik untuk mencapai pasar terdekat.
Hashim mengatakan, banyak pemuda Rohingya yang juga merasa cemas terkait makanan dan air di tengah suhu yang membakar di kamp tersebut. Hashim mengenang masa lalu, saat ia senang bergabung dengan teman-temannya untuk menjalankan ibadah puasa tahunan saat Ramadhan. Karena mereka dapat beristirahat di bawah naungan pepohonan yang sejuk di antara pekerjaan mereka.
Namun, lain halnya dengan di kamp pengungsian, Hashim mengaku mereka tidak dapat berpuasa di sana seperti yang dilakukan di Myanmar. Karena cuaca terlalu panas dan tidak ada pohon yang menjadi penahan teriknya matahari."Terpal itu panas, dan menjadi lebih panas ketika matahari bersinar. Ini akan sangat sulit," ujarnya.
(Baca: Pembaca Republika Bantu Muslim Rohingya)
Meski begitu, Hashim adalah salah satu yang beruntung, karena mampu merayakan Ramadhan bersama keluarganya. Sementara anak-anak Rohingya lainnya akan menghabiskan Ramadhan tidak hanya jauh dari rumah, tetapi juga sendirian.
Ribuan orang menyeberang ke Bangladesh tanpa orang tua atau keluarga. Mereka terpisah dalam kekacauan atau pun menjadi yatim karena kekerasan dan penyakit yang didefinisikan eksodus massal dari Myanmar.
"Sayangnya, ini akan menjadi Ramadhan pertama mereka untuk dikenang karena alasan yang salah," kata Roberta Businaro dari Save the Children di Cox's Bazar.
Businaro mengatakan, mereka hanya akan memainkan kotoran dan lumpur serta debu di kamp pengungsian tersebut. Sementara itu, mereka juga akan menghabiskan Ramadhan jauh dari rumah, orang tua, dan teman-teman mereka.
Meski di bawah kondisi yang sulit, namun imam Muhammad Yusuf mengatakan Muslim Rohingya tidak akan meninggalkan tradisi mereka, tidak peduli seberapa berat kondisi mereka.
"Ini akan sulit ketika matahari sangat panas, tetapi kami akan tetap berpuasa," kata Yusuf.
(Lihat Video: Dari Pembaca Republika untuk Muslim Rohingya)