REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam itu menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagi umatnya. Demikian penegasan Alquran tentang cara Allah memberlakukan syariat Islam bagi hambanya. Hal tersebut ditegaskan dalam surah al-Baqarah [2]: 185.
Misalnya, seorang mukmin yang tidak bisa berdiri, boleh mengerjakan shalat dengan cara duduk. Bila tak mampu duduk, boleh dengan cara berbaring, dan bila tak mampu juga, diperbolehkan dengan isyarat. Bila dengan isyarat juga tak mampu, shalat tetap harus dilaksanakan dalam hati.
Begitu juga dengan puasa. Orang yang sakit parah diperbolehkan untuk tidak berpuasa, termasuk orang tua yang telah uzur. Orang yang bepergian juga diperkenankan untuk tidak berpuasa hingga dia merasa aman di tempat tujuannya atau membayarnya setelah kembali ke kampung halamannya. Itulah keringanan (rukhshah) dari Allah bagi umat Islam. Lihat penjelasan surah al-Baqarah [2]: ayat 183-187.
Para ulama pun sepakat dalam hal ini. Kendati terdapat perbedaan mengenai maksud bepergian dalam ayat tersebut tentang jaraknya. Imam Syafii menetapkan, yang dimaksud dengan bepergian dan mendapat keringanan hukum Islam adalah yang menempuh jarak sekitar 80,67 kilometer.
Namun demikian, ada pula ulama yang menyatakan setiap bepergian, selama tujuan bepergian itu bukan untuk perbuatan maksiat. Lalu, bila Allah sudah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi orang yang sedang bepergian itu merasa sanggup untuk berpuasa pada hari itu dan dia melaksanakannya, manakah yang lebih utama?
Infografis Ramadhan
Apakah dia lebih baik berbuka atau lebih baik berpuasa? Hal ini sering dialami oleh sebagian umat Islam di Indonesia, terutama yang mudik menjelang Lebaran.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh as-Sunnah, para ulama Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafii berbeda pendapat dalam hal ini.
Ada yang menyatakan, lebih baik berbuka karena Allah sudah memberikan keringanan. Ada pula yang mengatakan, lebih baik berpuasa, jika dia mampu melaksanakannya, karena hal itu merupakan kewajiban yang mesti ditaati.
Imam Abu Hanifah (Hanafi), Syafii, dan Maliki berpendapat, bahwa berpuasa lebih diutamakan bagi orang yang mampu melaksanakannya dan berbuka lebih diutamakan bagi orang yang tidak mampu berpuasa.
Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat, berbuka lebih utama daripada tetap berpuasa. Umar bin Abdul Aziz berkata, "Yang lebih utama adalah yang paling mudah. Bagi orang yang merasa kesulitan mengganti puasa dan baginya akan lebih mudah jika melakukan puasa pada saat itu, puasanya menjadi lebih utama."
Imam Syaukani membenarkan pendapat ini. Menurut dia, seseorang yang merasa berat untuk berpuasa dan akan berdampak buruk terhadap dirinya maka tidak berpuasa lebih utama.
(Baca: Tangkal Ujaran Kebencian Selama Ramadhan)
Jika seseorang hendak bepergian berniat puasa pada malam hari dan sudah memulai perjalanannya, dia tetap diperbolehkan untuk tidak berpuasa pada siang harinya.
Demikian pula orang-orang yang khawatir akan merasa sombong atau bersifat riya karena berpuasa ketika dalam perjalanan maka berbuka lebih diutamakan. Sebaliknya, apabila dengan berpuasa dapat menghilangkan perkara-perkara tersebut, berpuasa tentunya lebih utama.
Dari Jabir bin Abdullah RA, bahwasanya Rasulullah SAW pergi ke Makkah pada tahun penaklukan Kota Makkah. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura' al-Ghamin (sebuah lembah di Usfan), dan orang-orang turut berpuasa bersamanya.
Kemudian, ada seorang sahabat yang berkata, orang-orang merasa berat untuk meneruskan puasa dan mereka menunggu apa yang akan Rasul lakukan. Mendengar hal itu, Rasul meminta secawan air, lalu meminumnya. Hal ini beliau lakukan setelah shalat Ashar. Orang-orang yang menyaksikan itu ada yang mengikuti rasul dan membatalkan puasanya.
Sementara itu, sebagian lainnya tetap berpuasa. Mengetahui masih ada yang berpuasa, Rasul SAW bersabda: "Mereka itu adalah orang-orang yang durhaka." (HR Muslim Jilid II, hlmn 785, Nasai, dan Tirmidzi).
Menurut Sayyid Sabiq, maksudnya durhaka itu karena Rasul SAW telah menganjurkan untuk tidak berpuasa, tetapi mereka enggan dan tidak menerima keringanan yang diberikan.
Sebagian ulama ada yang mengatakan, termasuk orang yang sombong bila dia tidak mau menerima keringanan yang diberikan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Kapankah kebolehan untuk tidak berpuasa bagi orang yang bepergian itu, apakah saat masih ada di rumahnya, atau setelah melakukan perjalanan? Dalam beberapa riwayat, jika memang pada malam harinya sudah ada diniatkan untuk bepergian, dia dibolehkan untuk tidak berpuasa esok harinya, meskipun dia belum berangkat.
Imam Syaukani menyatakan, orang yang bepergian dibolehkan untuk tidak berpuasa, meskipun sebelum meninggalkan tempat kediamannya. Pernyataan ini diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.