REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan tahun ini diwarnai panasnya suhu politik menjelang Pemilihan Presiden 2019. Usaha pemblokiran situs berisi ujaran kebencian juga terus berlangsung hingga 2018.
Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia telah mengaktifkan sebuah mesin pelacak (crawling) hoax atau konten-konten negatif di internet pada awal 2018 lalu.
Berdasarkan data Kemen terian Komunikasi dan Informatika, sepanjang 2017 tercatat 13.829 konten negatif berupa ujaran kebencian yang marak di media sosial, 6.
973 berita bohong, dan 13.120 konten pornografi. Sedangkan, situs yang telah diblokir tercatat hanya sekitar 782.316 situs.
Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan, mesin crawling ini bekerja secara efektif dalam mengidentifikasi konten nega tif yang dilihat dari seberapa besar pengaruh dan tingkat keviralannya dalam dunia siber.
Setelah dilakukan pengujian, mesin bernama AIS ini berhasil mene- mukan 120 ribu situs porno dari 1,2 juta situs terayap di Indonesia hanya dalam tiga hari.
Samuel menjelaskan, mesin ini akan bekerja apabila menemukan konten negatif atau yang melanggar aturan, tim verifikator akan menandai kiriman tersebut (screen-capture) lalu diserahkan ke tim eksekutor untuk ditindaklanjuti.
Dalam jangkauannya, hingga saat ini pihak Kominfo sudah bekerja sama dengan sejumlah layanan media sosial, seperti Facebook, Instagram, Whats app, Twitter, BBM, Line, Bigo, dan Google.
Pengamat media sosial, Nukman Lutfie, menerangkan, ujaran kebencian merupakan hal yang telah jelas salah dan dilarang di mata hukum. Dia mengimbau masyarakat untuk meninggalkannya.
Meningkat atau menurunnya ujaran kebencian, menurut dia, dapat dilihat dari rendah atau tingginya kemampuan literasi masyarakat serta selektivitas dalam menyaring berita.
Penerima pesan atau berita harus meneliti kembali korelasi antara judul dan isi berita.
Jika isinya hanya provokasi maka tidak perlu disebar, lalu jika berita tersebut tidak berasal dari sumber yang jelas, maka abaikan saja untuk menghindari hoax,
kata Nukman saat dihubungi Republika.co.id
Dia juga menyarankan agar masyarakat tidak serta-merta menyebarluaskan informasi, terlebih di kondisi yang mulai meng- hangat seperti saat ini. Menurut Nukman, saat ini mayoritas ujaran kebencian berisi konten politik, tapi banyak pula yang mengaitkannya dengan syariat agama.
Hal ini, kata dia, perlu dihentikan dengan beberapa cara yang sejatinya telah dilakukan beberapa tahun belakangan.
Solusinya, literasi harus ditingkatkan. Baca jangan hanya judul berita.
Jadi, kalau ada berita baca seluruhnya dan tentukan layak atau tidak untuk disebarkan.
Adapun cara penghentian hoaxatau ujaran kebencian yang perlu dilakukan pemerintah adalah dengan menegakkan hukum, entah UU ITE atau terkait.
Meski begitu, aparat hukum disarankan untuk mampu mene lusuri lebih dalam alasan pelaku penyebaran, mengingat tidak se mua penyebar hoaxmemiliki niat an negatif, tapi ketidakpahaman memproses isi berita.
Hukum ditegakkan saja, jadi aparat tidak perlu ragu untuk menindak pihak yang melanggar, tapi harus ditelusuri juga alasan di balik tindakan pelaku karena tidak semua penyebar hoaxmemiliki niatan negatif. Karena mung kin saja dia memang tidak mengerti saja, kata dia.