Puasa dalam Tradisi dan Agama Terdahulu

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko

Sabtu 05 May 2018 14:32 WIB

 Bayangan siluet para pengunjung pameran saat menyaksikan bangunan Mesir kuno dalam pameran Bayangan siluet para pengunjung pameran saat menyaksikan bangunan Mesir kuno dalam pameran "Mummy: Secrets of the Tomb" di Museum ArtScience Singapura, Kamis (25/4). (AP/Wong Maye-E)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa tak hanya dilakukan umat Islam, tetapi juga oleh umat-umat lainnya. Caranya pun bermacam-macam. Termasuk tujuan dan motivasinya. Semua itu menunjukkan bahwa puasa merupakan tradisi dan kebiasaan dalam setiap agama dan umat-umat terdahulu.

Puasa Pemeluk Agama Mesir Kuno

Pemeluk agama Mesir kuno sebagai paganis (penyembah berhala) juga melakukan puasa untuk menghormati tuhan matahari dan Sungai Nil sebelum adanya tuhan-tuhan lainnya. Pengabdian kepada matahari dan Sungai Nil tersebut karena manfaat yang mereka rasakan.

Orang-orang Mesir kuno juga melakukan puasa dalam rangka hubungan mereka dengan para dewa. Karena itu, mereka mendirikan kuil-kuil pemujaan. Upacara pemujaan terhadap para dewa ini secara teoretis dibawakan oleh Sang Raja, tetapi kenyataannya sering juga dibawakan oleh deputi atau para pendetanya.

Yunani Kuno

Puasa juga dikenal di kalangan pemeluk agama Yunani kuno. Puasa tersebut dilaksanakan oleh laki-laki maupun perempuannya. Bagi kaum perempuan Yunani kuno, puasa sangat dipentingkan sebagai kewajiban yang datang dari para pendeta atau mereka wajibkan sendiri.

Orang-orang Yunani kuno mengambil tradisi puasa orang-orang Mesir kuno, kemudian mereka mewajibkan puasa tersebut di kalangan mereka. Meski mengadopsi tradisi Mesir kuno, namun puasa orang Yunani kuno dikerjakan dengan tata cara mereka sendiri. Misalnya, para wanita melakukan puasa dengan cara duduk di atas tanah dengan menunjukkan perasaan duka nestapa. Sebagian orang Yunani kuno berpuasa beberapa hari secara berturut-turut, terutama menjelang peperangan berlangsung

Romawi Kuno

Pemeluk agama Romawi kuno sebagaimana halnya dengan bangsa Yunani (Hellas) menganut politeisme, yakni menyembah banyak dewa. Mahadewa Yunani bernama Zeus, sedangkan mahadewa bangsa Romawi adalah Yupiter.

Agar dewa tertinggi tidak marah, bangsa Romawi kuno melakukan upacara-upacara agama dan mempersembahkan korban. Dengan demikian, bentuk puasa yang dijalankan mereka mengambil ajaran-ajaran bangsa Yunani kuno, yaitu bahwa penderitaan dalam berpuasa akan membuat jalan terbuka bagi pernyataan tobat (rasa menyesal), mencari pahala atau membentuk kepribadian.

Orang-orang Romawi kuno berpuasa pada hari-hari tertentu, terutama ketika menghadapi musuh, dengan maksud agar memperoleh kemenangan. Mereka biasa berpuasa pada bulan Oktober yang biasa disebut puasa Ceres. Kebiasaan ini kemungkinan pengaruh dari orang-orang Yunani Hellenis yang berpuasa dalam rangka memuja dewa Attis.

Zoroaster

Kebiasaan berpuasa juga dikenal di kalangan para pemeluk agama Zoroaster. Agama ini dikenal pada abad ke-8 sebelum Masehi di Persia. Di kalangan pemeluk Zoroaster dikenal puasa yang disebut 'puasa tolak bala bencana' (deprecated fasting).

Anehnya, dalam kitab Al-Milal Wan-Nihal terdapat keterangan bahwa agama tersebut melarang seseorang berpuasa. Karena, agama Zoroaster mengajarkan agar seseorang bekerja keras, sedangkan puasa hanya akan melemahkan tenaga untuk bekerja.

Zoroaster juga melarang orang mengurangi makan dan minum. Bahkan, memerintahkan orang memakan makanan yang baik-baik, sehat dan sempurna.

Manu

Puasa juga dikenal di kalangan para pemeluk agama Manu, sebuah keyakinan yang lahir pada abad ke-3 sebelum Masehi di wilayah Babilonia. Manu, seorang bekas pendeta Nasrani, mengajarkan kehidupan zuhud, hidup serba sederhana dan harus menyingkirkan diri dari pergaulan masyarakat, bahkan tidak perlu membangun sesuatu pun.

Umumnya para pengikut Manuisme menganggap puasa sebagai bentuk ibadah yang suci dan luhur. Puasa menurut Manuisme merupakan ajaran yang tampak sebagai usaha menekan nafsu-nafsu jahat.

Cina Kuno

Masyarakat Cina kuno yang menganut ajaran Taoisme dan Konfusianisme juga mengenal tradisi berpuasa. Orang-orang Cina kuno berpuasa pada hari-hari biasa, sedangkan pada hari-hari tertentu seperti ketika terjadi banyak fitnah dan bencana, mereka mengharuskan diri berpuasa, dengan tujuan agar terhindar dari fitnah dan bencana itu.

Sementara orang-orang Tibet membiasakan menahan diri dari makan dan minum selama 24 jam berturut-turut tanpa makan sedikit pun, sampai-sampai air liur pun tidak boleh ditelan, dengan tujuan magis maupun religius.

Sinto

Menurut catatan kuno, agama Shinto di Jepang dikatakan orang sebagai agama yang para penganutnya dikenal sebagai 'orang-orang yang berpantang'. Siapa saja tidak boleh menyisir rambut, mencuci, makan daging, maupun mendekati wanita-wanita. Kedudukan badan hukum alim-ulama yang turun-temurun dan disebut dengan Imbe, berfungsi untuk menyiapkan selamatan-selamatan bagi para dewa, karena telah melakukan pantang dari segala pengotoran atau segala hal-hal yang tidak suci.