Dugderan, Tradisi Para Ulama

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Agung Sasongko

Rabu 02 May 2018 14:34 WIB

Karnaval Dugderan merupakan tradisi khas warga Kota Semarang yang digelar untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Foto: Antara/R Rekotomo Karnaval Dugderan merupakan tradisi khas warga Kota Semarang yang digelar untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dugderan dulunya merupakan pertemuan ulama. Jelang penghujung Sya’ban, para ulama berkumpul untuk melaksanakan halaqoh. Tak hanya ulama dari Semarang, sejumlah ulama dari wilayah sekitar juga turut serta dalam forum yang difasilitasi Bupati Semarang, RMTA Purbaningrat (1881) ini.

Halaqoh yang melibatkan Bupati Semarang dan para ulama ini bukan membahas persoalan ‘ancaman’ keamanan di dalam pemerintahan Kabupaten Semarang saat itu, atau persoalan kepemimpinan lainnya. Namun pertemuan para ulama ini untuk menyatukan pendapat, terkait dengan masih munculnya beberapa perbedaan pandangan dalam menentukan jatuhnya awal Ramadhan, yang identik dengan awal umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa. Hasil halaqoh para ulama ini, selanjutnya diserahkan kepada Bupati, RMTA Purbaningrat untuk disebarluaskan kepada warga kabupaten, melalui pengumuman akbar yang dihelat di Masjid Agung Kauman di alun-alun kabupaten.

Sebagai penanda keputusan halaqoh untuk disebarluaskan kepada warga kabupaten ditabuhlah bedug yang selanjutnya dirangkai dengan dentuman meriam. Momentum inipun, selanjutnya dikenal dengan ‘Dugderan’. Hingga sekarang, tradisi para ulama inipun selalu diperingati setiap menjelang pergantian bulan sya’ban menuju ramadhan, sekaligus sebagai penanda tibanya saat untuk mengawali ibadah puasa selama satu bulan penuh. Warga Kabupaten Semarang (sekarang Kota Semarang) pun selalu menyambut awal ramadhan ini dengan tradisi ‘Dugderan’.

Pada perkembangannya tradisi inipun juga lekat dengan megengan atau pasar malam rakyat. Karena alun- alun menjadi pusat keramaian pada saat pengumuman awal ramadhan selalu dipadati ribuan umat, hal ini dipandang sebagai tempat yang menjanjikan untuk menggerakkan perekonomian.

Berawal dari datangnya beberapa pe dagang yang mremo, akhirnya mun cul pasar malam rakyat yang selalu digelar setiap menjelang tradisi ini dihelat. Megengan sendiri berasal dari kata tamu ageng atau tamu agung. Tak sedikit warga luar kabupaten yang datang ke alun-alun untuk menyambut hasil halaqoh para ulama ini. Momentum ini pula yang akhirnya merubah peristiwa halaqoh ulama menjadi sebuah perayaan.

Seiring dengan perkembangan politik dan pemerintahan di Semarang, perayaan Dugderan dalam menyambut awal Ramadhan ini juga sudah mengalami banyak perubahan. Tradisi yang selalu diperingati dan dipusatkan di alun-alun dan masjid Agung Kauman pun bergeser ke Mas jid Agung Jawa Tengah (MAJT). Namun esensi dari tradisi ini tetap dipertahankan. Pada perayaan Dugderan, Selasa (10/8), prosesi diawali dari halaman Balai Kota Semarang. Wali Kota Semarang, Soemarmo HS –yang berperan sebagai Bupati, RMTA Purbaningrat--yang diarak dengan kereta kencana menyambangi para ulama di Masjid Agung Kauman.

Bersama hasil halaqoh para ulama, rombongan melanjutkan prosesi menuju MAJT yang berjarak sekitar dua kilometer. Dari MAJT inilah hasil ha la qoh para ulama diumum kan kepada khalayak, masyarakat oleh Guber nur Jawa Tengah, H Bibit Waluyo. Bagi warga Kota Semarang, apapun kemasan dan konsepnya, tradisi Dugderan tetap menjadi ikon budaya yang identik dengan nilainilai sejarah spiritual.

Terpopuler