Ibadah Personal Jangan Kalahkan Ibadah Sosial

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agus Yulianto

Kamis 22 Jun 2017 17:12 WIB

Irfan Syauqi Beik Foto: istimewa Irfan Syauqi Beik

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Tujuan utama Ramadhan adalah membentuk pribadi yang takwa. Namun, hal itu jangan dimaknai sempit dan mengabaikan manfaat yang lebih besar bagi umat.

Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB Irfan Syauqi Beik menjelaskan, banyak yang memacu ibadah saat Ramadhan untuk meraih gelar takwa. Namun, ini jadi bertentangan manakala ibadah lain diabaikan, terutama dalam muamalah harta atau ekonomi.

Alquran dan sunnah memberi panduan komprehensif bagi kehidupan. Tapi begitu masuk pada ayat ekonomi, tidak semua umat langsung total beriman terhadap kebenaran ayat tersebut.

Irfan mencontohkan ayat tentang riba. Allah SWT menurunkan ayat tentang riba dalam empat tahap. Tahap pertama pada surat ar-Rum ayat 39 dimana Allah membalikkan logika riba dengan zakat. Di tahap ke dua pada surat An-Nisa ayat 160-161 yang memberi ancaman azab bagi para pelaku riba.

Ayat kemudian dilanjutkan pada tahap ke tiga di surat Ali Imran ayat 130 dimana Allah mengharamkan sebagian riba. Di tahap ke empat, pada surat al-Baqarah ayat 275-281 yang total mengharamkan riba.

''Saking bahayanya riba, Rasulullah sampai memperingatkan pelakunya bahwa harta hasil riba tidak bertambah justru berkurang dan riba lebih buruk dari berzina,'' ungkap Irfan, Kamis (22/6).

Persoalannya saat ini, seberapa tunduk umat terhadap ayat tersebut. Fakta mengubah sistem konvensional menjadi syariah memang butuh waktu panjang adalah tantangan sendiri. Namun, harus ada kayakinan dan ikhtiar untuk secara menyeluruh masuk dalam sistem ekonomi Islam.

Direktur Islamic Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menjelaskan, potensi umat Islam sangat besar dari sisi demografi, ekonomi, dan religiusitas. Di sisi ekonomi, selain sekor riil halal, sektor keuangan syariah, umat Islam juga punya potensi besar pasa sektor nirlaba.

Umat Islam memiliki banyak pranata sosial keagamaan non komersil mulai dari masjid, sekolah, zakat, hingga haji. IDEAS memprediski, likuiditas dari sektor nirlaba Islam pada 2017 mencapai Rp 113-121 triliun. Potensi terbesar terdapat dari dana setoran calon jamaah haji yang terakumulasi dalam waktu panjang sekitar Rp 96,99-98,91 triliun, disusul potensi dana lembaga pendidikan Islam Rp 7,49-10,79 triliun, dana masjid dan mushala Rp 5,88-7,60 triliun, dana lembaga kesehatan Islam Rp 1,37-1,83 triliun, dana lembaga filantropi Islam Rp 1,04-1,30 triliun, dan dana ormas Islam Rp 0,18-0,26 triliun.

''Bila dana ratusan triliunan ini dikelola dengan baik, pertumbuhan sektor ekonomi lain milik umat dapat dibantu meningkat,'' ungkap Yusuf.

Misalnya dana-dana itu ditempatkan di perbankan syariah. Dengan memperhitungkan kecenderungan satu dekade terakhir, pertumbuhan aset perbankan syariah hanya akan mencapai Rp 513,6 triliun pada 2020 dengan pangsa pasar 5,67 persen.

Bila dana-dana sosial keagamaan Islam iu masuk bertahap ke perbankan syariah, maka aset perbankan syariah bisa mencapai Rp 698,5 triliun pada 2020 dengan pangsa pasar 7,26 persen. ''Namun tentu dibutuhkan rekayasa teknis dan sosio-kultur dana sosial keagamaan itu bisa pindah ke perbankan syariah,'' ungkap Yusuf.

Terpopuler