REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perayaan Idul Fitri memiliki akar sejarah yang kuat dalam peradaban Islam. Tradisi penyambutan hari raya tersebut berkorelasi langsung ataupun tidak langsung dengan sunah yang pernah digariskan oleh Rasulullah SAW.
Rahla Khan dalam “How Did the Prophet & His Companions Celebrate Eid?” mengungkapkan, perayaan Idul Fitri pertama kali dilangsungkan usai Perang Badar pada tahun kedua Hijriyah (624 M). Pada masa Rasul dan generasi sahabat, malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan takbir hingga pagi hari 1 Syawal.
Pada hari itu, Rasul menggunakan pakaian terbaik yang dimiliki. Pemilihanl rute jalan yang berbeda saat hendak dan setelah shalat Idul Fitri juga digunakan sebagai bagian bertatap muka dengan masyarakat.
Rasulullah juga mendatangi tempat keramaian saat Idul Fitri. Suatu saat ketika Idul Fitri, sekelompok orang Afrika pernah menggelar pertunjukan tombak dan tameng. Aisyah meminta izin kepada Rasul untuk menonton aksi tersebut. Rasulullah pergi ke sana bersama Aisyah.
Para budak juga dibiarkan memaikan alat perkusi sebagai ekspresi kebahagiaan. Meski demikian, Rasul melarang tradisi buruk jahiliyah selama perayaan hari raya, seperti berpesta pora dan mengonsumsi minuman keras.
Emine Gumuus Boke dalam artikelnya “Prophet Muhammad and the Celebration of 'Eid” menulis Rasulullah mengajak semua Muslim untuk shalat Id dan mendengarkan nasihat dari khotbah. Rasul juga mengajak Muslim berbahagia pada hari ini dan saling mendoakan.
Meski sehari-hari sering bersama para sahabat, ketika Idul Fitri, Rasulullah mengunjungi rumah para sahabat. Rasul juga tetap menerima kunjungan dengan jamuan yang baik pada para tamu yang hadir. Tradisi yang sama dipertahankan oleh para khalifah, pengganti Rasulullah.