Berkunjung ke Masjid Kuno di Kampung Adat Lombok

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto

Rabu 21 Jun 2017 14:57 WIB

Warga melintas dengan jerigen air di Kampung Adat Sembagik (Ilustrasi) Foto: Republika/M Nursyamsyi Warga melintas dengan jerigen air di Kampung Adat Sembagik (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pulau Lombok sudah menjadi salah satu destinati yang wajib dikunjungi para wisatawan. Keindahan alam, mulai dari gugusan bukit hingga hamparan pasir putih menjadi daya tarik tersendiri di Bumi Seribu Masjid ini.

Selain objek wisata alam yang sudah familiar seperti Gili Trawangan, Pantai Senggigi, hingga Pantai Kuta Mandalika, Lombok juga menyimpan keunikan budaya yang masih terjaga hingga kini.

Salah satunya adalah Kampung Adat Sembagik yang terletak sekitar 85 kilometer (km) dari Kota Mataram, atau menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam. Kampung adat yang berada di Dusun Sembagik, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB, ini masih menjaga tradisi nenek moyang dan hidup berdampingan dengan Hutan Adat Sembagik.

Tokoh Pemuda Kampung Adat Sembagik, Sukati, mengatakan, Kampung Adat Sembagik satu dari sekian banyak kampung adat yang masih bertahan di tengah gempuran modernisasi. Kampung Adat Sembagik seakan tersembunyi karena lokasinya yang berada di pedalaman Hutan Adat Sembagik.

Mereka enggan menerima masuknya aliran listrik dan lebih memilih menggunakan penerangan alami dengan menggunakan lampu jojor atau lilitan kapas pada bambu yang dicampur dengan minyak jarak. Mengingat lokasi kampung yang berada di pedalaman hutan adat, tak heran jika akses jalannya masih sangat terbatas dan penuh gelombang bahkan hingga sepanjang 1 km.

Saat hendak masuk ke dalam kawasan kampung adat, terdapat sebuah kayu yang melintang tepat di pintu masuk kampung. Kayu tersebut merupakan penanda bagi setiap kendaraan agar tidak masuk ke dalam kampung, baik itu kendaraan roda dua, roda empat, maupun sepeda.

"Di sini memang tidak diperbolehkan kendaraan masuk, termasuk sepeda juga," ujar Sukati.

Terjalnya medan perjalanan akan terbayar seketika saat memasuki kawasan kampung adat ini. Nuansa asri dan teduh begitu terasa kala menjejakkan kaki di kampung ini.

Pria berusia 37 tahun itu menjelaskan  kampungnya memang masih sangat kental mempertahankan nilai-nilai tradisi Suku Sasak. Kampung adat seluas 2 hektar ini didiami sekitar 97 kepala keluarga dengan 99 bangunan, mulai dari rumah panggung penduduk, masjid kuno, lumbung penyimpan padi, dan Berugak (Gazebo). Tak ada satu pun bangunan permanen di sini. Seluruh bangunan yang ada merupakan buah karya warga lokal dengan memanfaatkan sejumlah sumber daya yang ada di sekitar kampung seperti kayu ilalang dan bambu.

Sukati menceritakan, sejumlah keunikan yang ada di kampungnya seperti cara memasak yang masih menggunakan kayu tanpa minyak tanah atau pun minyak goreng dalam proses menggoreng.

Dikatakan Sukati, awik-awik atau aturan hukum adat juga masih terjaga di kampung ini antara lain, mengatur sumber mata air yang hanya boleh digunakan untuk mandi dan minum, sedangkan untuk mandi dilarang menggunakan sabun. Aturan lain ialah tidak diperkenankan menggunakan alas kaki saat menuju ke sumber mata air dan dilarang merusak pepohonan, bahkan sekadar memetik daun dari sejumlah pohon atau tanaman.

Untuk mengatur proses awik-awik tetap terjaga, terdapat seorang pemangku adat yang bertugas menetapkan sanksi bagi setiap pelanggar. Dendanya pun bervariasi, mulai dari seekor kambing hingga uang kepeng bolong, yang didahului upacara adat. Hukuman ini tidak pandang bulu. Setiap pelanggar, baik warga kampung adat maupun dari luar kampung adat diperlakukan sama. Menurutnya, tradisi ini merupakan salah satu upaya dalam menjaga kelestarian hutan.

Nilai-nilai keislaman juga tidak bisa dipisahkan dari tradisi Sasak di kampung ini. Terlihat dengan adanya sebuah masjid kuno yang hanya dipergunakan pada waktu tertentu semisal Idul Fitri, Bulan Ramadhan, dan Maulid Nabi. Sekilas penampakan masjid kuno tidak jauh berbeda dengan masjid kuno Bayan Beleq.

Masjid kuno di kampung adat Sembagik sendiri dibangun dengan dinding rendah dari anyaman bambu dan atap berbentuk tumpang yang tersusun rapi dari bilah bambu atau dikenal dengan bahasa Dayan Gunung atap santek dengan lantai tanah yang dasarnya dari susunan batu kali.

Selain bertani, para perempuan di kampung ini dulunya melestarikan kerajinan tenun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir proses menenun yang memang menjadi tradisi warga Sasak terhenti lantaran kesulitan modal. "Kalau sekarang banyak juga alat-alat tenunnya yang sudah hilang," ucap Sukati.

Meski berada di pedalaman, para orang tua di Kampung Adat Sembagik masih menaruh perhatian pada sektor pendidikan bagi anak-anaknya. Sukati menyampaikan, kebanyakan anak-anak di Kampung Adat Sembagik tetap menjalankan aktivitas kegiatan mengajar, meski lokasi sekolah berada cukup jauh yakni di luar kawasan hutan adat.

"Kalau yang punya motor di antar pakai motor. Kalau tidak, ya anak-anak jalan kaki," Sukati menambahkan.

Sukati yang juga ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sembagik sedang berupaya untuk mengembangkan kampungnya agar semakin banyak dikunjungi wisatawan. Selama ini, hanya kawasan tiga gili yakni Gili Air, Gili Memo, dan Gili Trawangan, destinasi di Kabupaten Lombok Utara yang ramai dikunjungi wisatawan.

Sukati berharap ada bantuan dari pemerintah, terutama perihal kondisi jalan menuju Kampung Adat Sembagik yang masih jauh dari harapan dan juga fasilitas pendukung wisata lainnya.

Ketua Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi (Putri) NTB, Thahrir, menilai Kampung Adat Sembagik memiliki potensi besar dalam menarik minat wisatawan, terutama wisatawan mancanegara yang ingin melihat secara langsung kehidupan warga Lombok yang masih mempertahankan nilai budayanya.

"Harus ada menajemen yang baik karena akan lebih memudahkan, apalagi ini lokasinya juga strategis," ujar Thahrir.

Terpopuler