Sesenggukan di Bawah Lindungan Lailatul Qadar

Red: Muhammad Subarkah

Rabu 21 Jun 2017 09:23 WIB

shalat tahajud/ilustrasi shalat tahajud/ilustrasi

“Ini cucu pade kemane ye. Deh jem 11 kurang masih belum nongol juga,” kata Engkong Idi dengan logat kental Betawinya. Gare-gare hujan, dianggap Jumatan setop dulu kali. Begitu pikir Engkong Idi.

Hari ini Jumat. Hari yang selalu dia tunggu-tunggu untuk Jumatan. Apalagi di bulan Ramadhan. Tanggal 26 mendekati akhir bulan penuh berkah. Meski hujan deras mengguyur, mustahil Engkong Idi tinggalkan shalat Jumat.

DIGUYUR HUJAN TAPI TAK BASAH

Jam sudah menunjuk angka 11. Cucu yang biasanya menuntun tak juga datang. Akhirnya dirabanya payung di sebelah pintu ruang tamu. Sambil kaki kanan mulai melangkah, "Bismillah," ujarnya.

Di bawah payung, Engkong Idi berjalan ke masjid. Mata buta karena katarak tak jadi penghalang. Jalan ke masjid sudah hafal. Maklum, sejak kecil sudah shalat di situ. Berpuluh-puluh tahun lamanya. Hingga buta sekarang, Engkong Idi masih shalat di situ.

Sampai di masjid, payung dilipat. Engkong Idi terkesiap. “Kok kaga basah”, lirihnya dalam hati. Engkong Idi makin terkejut. Sebab sandal pun tak basah. Diraba sarung dan kemudian baju. Sama juga. Tak basah. Seperti daun keladi. Tertimpa air langsung kalis.

Dalam keheranan Engkong Idi masuk masjid. Tapi tak lama. Begitu mulai konsen untuk sujud, Engkong Idi tak lagi peduli pada keajaiban yang menimpanya. Allahu Akbar, lirihnya. shalat Tahiyatul Masjid dimulai.

Usai shalat Jumat, Engkong Idi masih lanjutkan zikir dan doa. Hingga jam masjid berdentang 13 kali, hujan masih deras juga. Memang dirasa jamaah tak padat. Terhalangi hujan. Tunggu punya tunggu, akhirnya Engkong Idi beranjak pulang.

Sesampai di rumah ditaruhnya payung di tempat semula. Begitu juga sandalnya. Diambilnya kursi. Sambil duduk, Engkong Idi masih merasakan keajaiban. Payung, sandal, baju dan sarungnya tak basah juga.

SETITIK CAHAYA

Sabtu 27 Ramadhan. Sekitar pukul 2 dini hari, Engkong Idi terbangun. Biasanya memang dia yang bangunkan istri, siapkan makan sahur. Lengannya meraba-raba korek yang sudah disiapkan di atas meja.

Tiba-tiba genteng atap rumahnya terasa terbuka. Aneh. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Suasana sekarang berbeda. Hening sunyi. Jangkrik pun seolah tahu diri. Tak berbunyi kriiik.. kriiik... kriiik. Khawatir mengganggu kesyahduan. Tanpa sadar kepalanya mendongak ke atas.

Tiba-tiba dilihatnya muncul setitik cahaya. Amat terang, tapi tak menyilaukan, apalagi menyakitkan mata. Malah cahaya itu begitu menyejukkan. Makin lama cahayanya makin membesar. Berderangnya menerangi sepanjang yang dilihat Engkong Idi. Duuuh... indahnya tak bisa ditutur dengan kata.

Engkong Idi tersadar. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar walillah ilham. Bibirnya bergetar, air matanya jatuh berderai. Dia sadar dirinya buta. Tapi, dia bisa melihat cahaya begitu menyejukkan. Nikmatnya tak bisa dilantun. Kata-kata ini habis. Tak bisa gambarkan betapa indahnya.

Bukankah itu kata Rasulullah SAW. Bahwa Lailatul Qadar itu tak bisa diungkap dengan kata-kata. Sambil melafal puja puji bagi Allah SWT, Engkong Idi menangis sesunggukkan. Tak percaya dirinya dianugerahi Lailatul Qadar.

TANDA & SEBAB MENDAPAT LAILATUL QADAR

Hari itu memang Sabtu pagi. Tapi ingat. Jumat dimulai sejak Kamis Maghrib. Berakhir Sabtu Subuh. Jadi, beliau jumpai Laitul Qadar tetap di hari Jumat. Tanggal 27 Ramadhan. Sesuai dengan janji Allah di malam ganjil 10 hari terakhir Ramadhan.

Ingat pula. Siapa dianugerahi Lailatul Qadar punya tanda atau keajaiban. Tanda pertama, diguyur hujan tapi tak basah. Kedua matanya buta, tapi bisa melihat keindahan cahaya Lailatul Qadar.

Tak semua bisa memperoleh Lailatul Qadar. Sebab ini bicara siapa yang Allah kehendaki. Meski seumur hidup dicari, tak ada jaminan raih Lailatul Qadar. Engkong Idi bahkan tak iktikaf di masjid. Buta matanya jadi penghalang.

Namun, mengapa justru dia memperoleh? Begitulah Engkong Idi. Dirinya termasuk hamba yang bertakwa. Seumur-umur tak pernah dia marah apalagi berang. Lidahnya tak lepas dari zikir.

Hatinya bersih. Terpancar bening di wajah. Bukan hanya nyaman, juga nikmat berlama-lama menatapnya. Hati yang sudah terbebas dari penyakit hati. Karena tak lepas dari wudhu, rupa pun tampak bercahaya. Dengan wudhu terus terbasuh, insya Allah dirinya jadi berkah.

Dan siapa pun yang ke rumahnya, selalu dia doakan. Jika doa orang tertindas pun tak berhijab, bagaimana lagi dengan doa orang takwa. Apalagi mendapat doa dan syafaat Rasulullah SAW, masya Allah.

SAHABAT KH ABDULLAH SYAFEI

Rumahnya kecil dan sederhana di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Resik dan bersih. Dinding ruang tamu cuma dihiasi satu bingkai foto. Bukan foto diri atau keluarganya. Namun, foto karibnya semasa di madrasah Ibtidaiyah. Itulah foto KH Abdullah Syafei. Pendiri Pesantren Assyafi’iyah.

“KH Abdullah Syafei itu orang pintar. Maka cocok dia jadi kiai besar. Kalo Engkong bodoh. Cuma lulusan SD. Maka Engkong cuma kerja jadi tukang bengkel kereta di Manggarai.” Begitu katanya sambil terkekeh.

Ah Engkong Idi. Meski sudah puluhan tahun wafat, wajahnya yang teduh masih terbayang-bayang. Selalu saja di 10 hari terakhir Ramadhan, senyumnya seolah datang menyapa. Andai kuburnya digali, barangkali jasadnya masih utuh dan berbau wangi. Wallahu a'lam... Allahu Akbar.