REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Meet & Greet bersama Tere Liye di Ballroom Islamic Center NTB pada Ahad (18/6) berlangsung seru. Penulis yang telah menerbitkan sedikitnya 27 novel ini mengaku bahwa Pulau Lombok begitu spesial baginya. "Ini kesekian kalinya (datang), dan Lombok spesial sekali bagi seorang Tere Liye," ujar Tere Liye si Ballroom Islamic Center NTB, Ahad (18/6).
Bahkan, ada sejumlah karya miliknya yang mengambil setting lokasi cerita di beberapa tempat di Pulau Lombok dan juga Pulau Sumbawa seperti Sunset Bersama Rosie di Lombok dan Tentang Kamu yang bersetting di Pulau Bungin, Sumbawa. "Entah kenapa kalau mau setting yang eksotis langsung teringat Lombok dan juga Sumbawa," ungkap Tere.
Tere Liye juga mengaku, pernah menjelajahi destinasi wisata maupun budaya yang ada di Lombok pada 2005. Selama tujuh hari, hampir seluruh tempat wisata mulai dari Pantai Senggigi, Tiga Gili di Lombok Utara, hingga mendaki Gunung Rinjani ia lakukan.
Bicara mengenai karyanya, dia mengatakan, dunia kepenulisan yang ia jalani adalah penulis novel fiksi. Alasannya terjun ke dunia penulisan ialah ingin memberikan alternatif bacaan kepada masyarakat.
Kunci menulis itu adalah latihan. Tere mengibaratkan, seperti ibu-ibu yang pandai memasak lantaran terbiasa memasak. Sebaliknya, bapak-bapak tidak bisa memasak karena tidak pernah melakukan itu. "Sama denagn menulis, semakin terlatih semakin gampang terimajinasi," ungkap Tere.
Dia menyebutkan, penulis novel di Indonesia masih terbilang sangat terbatas. Padahal, menurutnya, novel bisa menjadi alternatif bacaan bagi para generasi muda. "Saya memutuskan menulis novel sejak 2005 sampai sekarang sudah ada 27 buku," lanjut Tere.
Dari 27 karya yang dikeluarkan, terbagi dalam beberapa genre yakni novel roman seperti Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" yang terinspiradi oleh Buta Hamka. Lalu ada genre anak-anak dan keluarga seperti Hapalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah, serta novel bergenre fantasi berjudul Bumi, Bulan, Matahari, dan Bintang.
"Semakin ke sini saya menulis banyak genre berbeda, salah satunya "Rindu", ini bukan soal cinta anak muda," ungkap dia.
Novel "Rindu" tersebut menceritan perjalanan haji pada masa sebelum kemerdekaan. Tere mengaku, tidak memiliki ambisi apapun dalam menulis. Sederhana saja, dia hanya menekankan pentingnya memberikan alternatif bacaan. Pasalnya, realita saat ini anak muda lebih sering menghabiskan waktu dengan gawai. Hal ini bukan kesalahan anak-anak muda, tapi juga para pemangku kepentingan termasuk dia sebagai penulis.