Tradisi Saji Maleman Cirebon pada 10 Malam Terakhir Ramadhan

Rep: Lilis Handayani/ Red: Yudha Manggala P Putra

Jumat 16 Jun 2017 00:21 WIB

Ibu-ibu wargi Keraton Kasepuhan dipimpin Raden Ayu Isye Natadiningrat menyiapkan sajian untuk tradisi hajat maleman, Kamis (15/6). Tradisi itu rutin diadakan oleh Keraton Kasepuhan mulai 10 hari terakhir Ramadhan. Foto: Republika/Lilis Sri Handayani Ibu-ibu wargi Keraton Kasepuhan dipimpin Raden Ayu Isye Natadiningrat menyiapkan sajian untuk tradisi hajat maleman, Kamis (15/6). Tradisi itu rutin diadakan oleh Keraton Kasepuhan mulai 10 hari terakhir Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Di sebagian wilayah Indonesia masih terdapat tradisi yang kerap dilakukan dalam menyambut 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Salah satunya di Keraton Kasepuhan Cirebon, dengan tradisinya yang bernama saji maleman.

Tradisi saji malamen ditandai dengan penyalaan dlepak dan pembakaran ukup setiap malam tanggal ganjil selepas Maghrib. Dlepak merupakan piring yang terbuat dari tembikar dan diisi dengan minyak maleman untuk menyalakan sumbu dari kapas yang sudah dipilin.

Minyak maleman itu terbuat dari minyak kelapa yang digodok kembali dengan tambahan kembang tujuh rupa. Karenanya, minyak tersebut akan menyebarkan aroma yang sangat harum saat sumbu dinyalakan.

Sedangkan ukup adalah wewangian yang dibuat dari campuran pohon cendana, akar wangi, gula merah, sejumlah rumput kering, dan rempah-rempah. Untuk membakarnya, ukup cukup ditebarkan di atas bara api yang biasanya dinyalakan dalam tungku.

Semua perangkat tradisi itu disiapkan oleh ibu-ibu para wargi Keraton Kasepuhan. Selanjutnya, semua perangkat tersebut dibawa dengan menggunakan gerbong dari Keraton Kasepuhan ke Astana Gunung Jati.

Gerbong pun dibawa oleh rombongan juru kunci ke Astana Gunung Jati yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari Keraton Kasepuhan dengan berjalan kaki. Rombongan dilepas oleh Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat.

Sultan menjelaskan, tradisi maleman akan diakhiri dengan hajat maleman pada malam ke-29. Pada saat itu, akan dibagikan makanan yang disebut nasi bogana kepada warga sekitar keraton dan makam Sunan Gunung Jati.

''Tradisi maleman sudah berlangsung sejak zaman Sunan Gunung Jati, dan sarat akan simbol dan makna filosofis,'' tutur Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan, PRA Arief Natadiningrat, Kamis (15/6).

Menurut Sultan, melalui tradisi itu umat Islam diingatkan untuk lebih banyak terjaga (tidak tidur) pada malam hari untuk menyambut malaikat turun ke bumi membawa rahmat. Umat Islam pun harus memperbanyak ibadah dan diharapkan memiliki hati yang bersih dan terang. Dengan cara itu, maka bisa menebarkan keharuman atau manfaat bagi banyak orang. ''Semoga kita diberikan hidayah mendapatkan malam Lailatul Qadar,'' ujar Sultan.

Terpopuler