Pakar Neurosains: Bersedekah Itu Menyehatkan Otak

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Ratna Puspita

Kamis 15 Jun 2017 19:34 WIB

Warga makan di warung sedekah di jalan Ahmad Yani Simpang Tujuh Kudus, Jawa Tengah, Rabu (7/6). Warung sedekah yang dibiayai para dermawan yang menyediakan makanan dan minuman secara gratis dan buka selama bulan ramadan tersebut bertujuan untuk membantu warga tidak mampu. Foto: antara/yusuf nugroho Warga makan di warung sedekah di jalan Ahmad Yani Simpang Tujuh Kudus, Jawa Tengah, Rabu (7/6). Warung sedekah yang dibiayai para dermawan yang menyediakan makanan dan minuman secara gratis dan buka selama bulan ramadan tersebut bertujuan untuk membantu warga tidak mampu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan suci Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk menyemarakkan sikap dermawan. Pakar neurosains dari National Health University (NHU), California, Amerika Serikat, Prof Taruna Ikrar, menjelaskan, dampak positif dari zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tidak hanya merekatkan hubungan sosial, melainkan juga menyehatkan tubuh.

Dia menjelaskan perasaan bahagia yang muncul sewaktu kita memberi ternyata berhubungan dengan peningkatan hormon oxytocin yang terletak pada bagian belakang atau posterior kelenjar pituitari di otak. 

"Kondisi ini mirip sewaktu seseorang mendengarkan lagu kesenangan,” kata pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, itu, dalam pesan singkatnya, Kamis (15/6).

Dia mengungkapkan, para ilmuwan neurosains menjuluki hormon oxytocin sebagai esensi rasa empati lantaran cara kerja hormon itu berhubungan dengan perasaan kedermawanan.

Sebuah penelitian oleh Moll (2006) dari Universitas California memantau aktivitas otak ketika seseorang mendermakan hartanya. Ternyata, lanjut Taruna Ikrar, ada peningkatan aktivitas area mesolimbik, striatum dorsal, ventral, dan tegmental ventral pada otak penderma itu.

Kemudian, peningkatan jumlah konsentrasi hormon dan neurotransmitter di otak. Khususnya oxytocin, serotonin, epinephrine, dopamine, dan endorphin. Itu semua memacu perasaan bahagia dan tenang dalam diri seseorang.

Dalam penelitian tersebut, para dermawan memaknai sumbangannya sebagai suatu investasi yang tidak pernah merugi, sebuah investasi jangka panjang, dan investasi sosial yang memberikan hasil senanitasa menguntungkan.

Tentu saja, dia menjelaskan, peningkatan neurotransmitter dan hormon-hormon ini akan berdampak positif bagi kesehatan dan kemampuan fungsi otak.

"Peningkatan aktivitas tersebut dimaknai sebagai suatu kondisi mental dan (si penderma) merasa lebih dihargai serta terjadi peningkatan empati,” ujar dia. 

Prof Taruna Ikrar meneruskan, semua perasaan manusia merupakan hasil reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh. Reaksi kimia yang melibatkan hormon-hormon tertentu bertanggung jawab mengatur semua aspek emosi, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Umpamanya, serotonin yang dihasilkan otak ketika seseorang mendermakan hartanya yang dianggapnya bermakna kepada orang lain. Demikian pula dengan hormon dopamine yang otak lepaskan ketika seseorang meyakini sebuah tujuan jangka panjang, termasuk akhirat.

Misalnya, endorphin merupakan hormon penghilang rasa sakit dan mengubahnya menjadi rasa gembira. Di dalam otak, (ada) reseptor endorphin yang mengirimkan pesan ke otak serta memacu pelepasan endorphin. Selain itu, juga serotonin di otak bertanggung jawab terhadap hormon utama kebahagiaan. 

“Ternyata, pada orang yang dermawan memiliki kadar oxytocin atau hormon cinta, dan dilepaskan dalam jumlah besar pada saat seseorang mendermakan barang berharganya,” kata dia. 

Terpopuler