REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Keindahan Gunung Rinjani memberi Sukarno (43 tahun) inspirasi. Pria yang berasal dari Desa Bug-bug, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB ini menjadikan Gunung Rinjani sebagai inspirasi merintis usaha.
Berawal dari kegemarannya melakukan aktivitas pendakian di Gunung Rinjani. Sukarno tanpa disangka mampu membungkus kecintaannya itu dengan hasil karya yang menghasilkan. "Segini besarnya Gunung Rinjani, kenapa tidak ada yang menjual oleh-oleh khas Rinjani," kata Sukarno kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Pada 2006, perawat yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) itu, memutuskan membuka usaha oleh-oleh khas Rinjani dengan brand Pasir, singkatan dari Pernak Pernik Asli Rinjani. Dengan modal awal Rp 100 ribu, ia mencoba membuat sticker dan gantungan kunci dengan tulisan Rinjani. Setiap ia melakukan pendakian, sticker dan gantungan kunci Rinjani selalu ia bawa dan tawarkan kepada para pendaki.
"Awalnya saya bawa langsung ke sana, jualan di sana, lama-lama meningkat, jadi ketagihan jualan," katanya.
Penamaan Pasir, selain mudah diingat juga terdapat filosofi yang kuat di dalamnya. Pasir merupakan salah satu material terkecil yang ada pada gunung. Meski kecil, apabila dikumpulkan tentu akan menggunung. Dia berharap, usaha Pasir meski kecil, namun bisa terus membesar baik dari segi penjualan maupun bisnisnya.
Area seluas 5x3 meter di rumahnya, ia manfaatkan sebagai toko Pasir. Beragam produk tersaji rapi mulai dari kaos, tas, syal, gantungan kunci, sticker, hingga gelang. Semuanya bertuliskan Rinjani. Soal harga pun bervariatif mulai dari Rp 5 ribu hingga Rp 1 juta.
Keunikan lain ada pada jam operasi toko, yakni buka pada pukul 3 sore, tutup pada pukul 7.26 malam. Hal ini ia sesuaikan dengan angka ketinggian Gunung Rinjani, yakni 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl). "Biar teman-teman pendaki langsung ingat ini Rinjani banget," ungkapnya.
Untuk produksi, ia dibantu sekitar enam karyawan lepas dan juga memberdayakan masyarakat sekitar tergantung pesanan. Ia juga memesan gelang dan kain tenun karya anak-anak desa adat di Sade, Lombok Tengah, yang memang dikenal dengan kerajinan tangannya.
Selain berjualan langsung, ia juga melakukan pemasaran dengan menitipkan produknya kepada para pedagang kecil di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Selain itu, ayah dari satu anak ini juga memanfaatkan sosial media dengan berjualan secara daring (online).
Atas jerih payahnya ini, ia bisa meraup rata-rata Rp 1 juta setiap harinya. Bahkan, jika sedang ramai, ia bisa mengantongi penghasilan hingga Rp 4 juta. Tak hanya pendaki lokal, para pendaki mancanegara pun kesengsem dengan produk Pasir, diantaranya Malaysia, Singapura, Australia, sampai Korea Selatan. Kata dia, kebanyakan turis asing yang datang ke tokonya dari Malaysia untuk belanja kaos dan kopi khas Lombok. Sedangkan pendaki dari negara lain lebih tertarik dengan produk yang ringan, seperti gantungan kunci dan gelang.
Ia juga kerap mendapat orderan khusus untuk membuatkan oleh-oleh khas gunung lain di Indonesia, seperti Gunung Semeru hingga 4 ribu gelang per pekannya. Kebiasaannya berkunjung ke gunung-gunung yang ada di Indonesia, membuka jalan baginya untuk menambah pundi-pundi uang, yang nantinya ia alokasikan untuk pengembangan usaha Pasir.
Sejatinya, perjalanan Sukarno merintis usaha ini tak selalu mulus. Ia mengaku sempat vakum selama beberapa tahun karena kesibukannya sebagai PNS, sebelum mulai kembali aktif pada 2009. Pekerjaannya sebagai perawat di Puskesmas Lingsar membuat ayah Nabila Ibrahim ini harus pintar membagi waktu.
Beruntung ia dikelilingi keluarga yang terus memberi dukungan agar tidak patah arang mengembangkan usahanya. Selepas menjalani tugas mulia menjadi perawat, ia sibuk melakukan produksi hingga melayani pembeli. Saat akhir pekan tiba, ia menyambangi TNGR untuk menyuplai produknya. Saat jalur pendakian ditutup, ia memanfaatkannya dengan mengirim perkembangan aktivitas status Rinjani melalui sosial media, yang pada akhirnya semakin mengenalkan Pasir pada wisatawan.
Ke depannya, ia juga ingin membuat toko di lokasi yang lebih strategis antara Bandara Internasional Lombok, Pelabuhan Lembar, atau Kota Mataram. Namun, untuk saat ini pengembangan sistem penjualan dan menjaga pelanggan menjadi prioritas utama.
Selain bekerja dan berusaha, ia juga aktif dalam kegiatan kelestarian lingkungan Rinjani dengan mengemban amanah sebagai Koordinator bagian Logistik pada Trashbag Community NTB. Menurutnya, keberlangsungan usaha sangat tergantung pada kebersihan dan kenyaman gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia tersebut.
Ia berharap, pemerintah lebih serius dalam menangani kelestarian Rinjani, terutama mengenai persoalan sampah yang seakan tak ada habisnya. Kotornya Rinjani akan berdampak negatif bagi pariwisata dan juga perekonomian warga sekitar yang menggantungkan hidupnya pada Rinjani.
"Pemerintah harus memberi perhatian dalam kebersihan Rinjani, karena kalau Rinjani kotor, wisatawan tidak datang dan kita-kita bisa bangkrut," katanya.