Membangun Usaha Makanan Secara Berjamaah

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto

Rabu 14 Jun 2017 11:41 WIB

Dodol rumput laut Dodol rumput laut

REPUBLIKA.CO.ID, Merintis usaha dengan patron bisnis berjamaah merupakan impian terbesar dalam hidupnya. Baginya, tak ada akan artinya jika kesuksesan diraih secara sendirian, sementara lingkungan sekitar tidak ikut dilibatkan. Adalah Hajjah Zaenab, perempuan berusia 47 tahun ini merintis usaha olahan makanan dengan brand produk TaponA Food, yang diambil dari nama kampungnya, Dusun Tapon, Desa Bilebante, Kecamatan Pringgabata, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak empat tahun silam.

Zaenab yang pernah berdagang sembako pada 1997 hingga 2007 memilih banting setir dengan mengembangkan tiga produk dalam TaponA Food yakni keripik tortilla, dodol rumput laut, dan sambal cengeh. Idenya bermula saat Ibu dari tiga orang anak itu melihat banyaknya jagung di kampungnya dan berpikir mengkolaborasikan keripik dengan bahan dasar jagung giling dan juga rumput laut.

"Saya melihat di sini kan banyak jagung, kenapa tidak dimanfaatkan saja untuk ini," ujar Zaenab saat disambangi Republika.co.id beberapa waktu lalu.

Awalnya, Zaenab berkeliling menawarkan produk dari pintu ke pintu dengan sepeda motor. Prinsipnya, kalau usahanya halal, kenapa musti malu. Terbukti, usahanya mulai menemukan jalan. Produk usahanya berhasil merangsek ke jaringan toko oleh-oleh di sejumlah penjuru Pulau Lombok.

Cita rasa produk yang enak, kemasan yang menarik, dan harga yang 'miring' membuat produknya disukai konsumen, terutama para wisatawan yang berlibur ke Lombok.

Selain itu, Zaenab juga menjamin kualitas seluruh produknya telah memenuhi persyaratan perizinan mulai dari BPOM, Dinas Kesehatan, dan juga sertifikasi halal dari MUI. Dia menekankan pentingnya makanan yang sehat dan alami, tidak hanya sekadar enak.

Akibatnya, permintaan produknya perlahan terus mengalami peningkatan. Inilah yang kemudian dia implementasikan dengan melibatkan para Ibu-Ibu di kampungnya yang ditinggal para suaminya bekerja menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.

Baginya, konsep bisnis berjamaah merupakan hal pertama ia akan lakukan jika sukses merintis usaha. Zaenab mengaku miris melihat kondisi ekonomi warga sekitar, terutama kaum hawa yang ditinggal para suaminya bekerja di negeri seberang.

Kebanyakan, para suami hanya pulang dan memberikan uang tanpa ada usaha berkelanjutan bagi perekonomian keluarga. "Punya usaha terus sukses sendirian itu sudah biasa, tapi kalau suksesnya berjamaah itu baru luar biasa," lanjut Zaenab.

Zaenab secara tekun dan penuh kesabaran mengajarkan ibu-ibu di kampungnya dalam bisnis keripik tortilla. Sebanyak 380 ibu-ibu yang terbagi dalam 38 kelompok usaha produktif, ia bina secara perlahan.

Untuk mitra produksi, Zaenab menyediakan bahan baku. Ia akan membeli produksi keripik mentah yang mereka hasilkan dengan harga Rp 25 ribu per kilogram. Selain mendapat ilmu, para ibu juga diberikan upah antara Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu setiap setengah hari bekerja. Jika dikalkulasikan, para ibu mendapat bayaran mencapai Rp 750 ribu setiap bulannya. Upah ini, bisa dikatakan setara saat para ibu membersihkan gulma di sawah.

Zaenab menekankan pentingnya menjaga kualitas produk. Hal ini dimulai dengan mengawasi secara langsung bahan bakunya hingga proses produksi. Untuk jagung, dia menegaskan harus yang benar-benar matang di pohon. Dengan begitu, warna kuning butiran jagung nyaris tidak akan berubah meski pun telah diolah. Sedangkan Rumput laut, ia tegaskan hanya memilih yang bersih dari kotoran. Selain itu, masa petik juga harus sesuai dengan umur teknisnya.

Hingga saat ini, produksinya dalam setiap pekan bisa mencapai 500 kilogram (kg) keripik tortilla. Produknya kemudian dia titipkan ke toko oleh-oleh dan juga sejumlah hotel yang ada di Lombok. Tak hanya skala lokal, produknya ternyata sudah merambah ke luar Lombok.

"Sekitar 25 kilogram keripik tortilla mentah juga kita kirim ke Jakarta, Bogor, dan Banyuwangi dengan harga Rp 35 ribu per kilogram," ucap Zaenab.

Hebatnya, produknya juga menarik minat pengusaha asal Afrika Selatan yang memesan hingga 10 ton per bulan. Namun, keterbatasan daya, baik alat dan SDM membuatnya tak mampu menyanggupi tawaran yang sejatinya amat menggiurkan.

Namun, ia percaya jika memang rejeki nanti tak akan kemana. "Insya Allah mungkin ke depan ada lagi tawaran yang bisa kita sanggupi," tutur Zaenab.

Selain keripik tortilla, produk kemasan sambal cengeh miliknya juga disukai konsumen. Cengeh diambil dari bahasa setempat yang berarti super pedas. Dikemas dalam bentuk botol dengan isi berat sekitar 100 gram, cengeh ditawarkan dengan tiga varian rasa yakni rasa original, rasa belut, dan rasa daging sapi. Setiap botol sambal cengeh dijual dengan harga sebesar Rp 28 ribu. Ia membeberkan, untuk produksi sambal cengeh bisa mencapai 60 kg dalam setiap pekan.

Selain dijual di jaringan oleh-oleh di seantero Pulau Lombok, sambal cengeh juga telah dikirim ke luar daerah seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor dengan pengiriman 50 botol per pekan masing-masing daerah.

Zaenab akan terus berjuang agar usahanya semakin berkembang. Ia mengaku, memiliki tanggung jawab moral bagi para ibu-ibu yang telah membantunya jika produknya tak mampu menembus pasar.

Terpopuler