Kisah Agustinus Wibowo Teliti Agama Suku Jawa di Suriname

Rep: KABUL ASTUTI/ Red: Esthi Maharani

Rabu 14 Jun 2017 00:20 WIB

Agustinus Wibowo, penulis biografi perjalanan Foto: IST Agustinus Wibowo, penulis biografi perjalanan "Titik Nol"

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penulis Agustinus Wibowo berbagi cerita tentang pengalamannya mengikuti program Residensi Penulis yang diadakan Komite Buku Nasional (KBN) dan Kemendikbud. Agustinus melakukan residensi di Belanda dan Suriname selama empat bulan pada 2016.

Para pecinta narasi perjalanan dan backpacker di tanah air pasti familiar dengan nama Agustinus Wibowo. Lelaki ini telah menelurkan beberapa karya dari hasil petualangan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tengah. Kali ini, Agustinus berbagi cerita setelah mengikuti program residensi di Belanda dan Suriname.

"Sejak tahun 2014 saya sudah memulai proyek untuk menulis buku tentang Nusantara," tutur Agustinus memulai kisahnya di Gedung A Kemendikbud Jakarta, Selasa (13/6).

Agustinus menyusuri perbatasan Indonesia dari sudut yang paling jauh di Papua Nugini, Aceh, sampai Toraja untuk menjawab sebuah pertanyaan tentang makna menjadi Indonesia dan hidup di negara yang begitu beragam ini. Ia memaparkan ada 700 bahasa, 300 suku bangsa, dan puluhan ribu pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke.

"Setelah saya melakukan investigasi di lapangan, kemudian saya menyadari ternyata bangsa kita, negara kita, tidak terlepas dari masa kolonialisme Belanda," ujar Agustinus.

Selain itu, ada banyak misteri lain dari identitas keindonesiaan yang hendak dia ketahui jawabannya. Jawaban itu, kata Agustinus, hanya ada di Belanda. Tapi, dana menjadi tantangan. Ia mengaku, dibutuhkan dana yang sangat besar untuk penulisan investasi jurnalistik yang tengah dia kerjakan. Agustinus pun memutuskan untuk mendaftar program Residensi Penulis 2016. Setelah melewati proses seleksi, penulis "Titik Nol" ini mendapatkan dana ke Belanda selama dua bulan untuk mempelajari tentang diaspora Indonesia dan isu-isu terkait.

Menurut Agustinus, apa yang sudah direncanakan bisa sangat berbeda ketika melihat kondisi di lapangan. Di Belanda, Agustinus banyak berinteraksi dengan orang-orang Jawa Suriname. Salah seorang antropolog menceritakan padanya tentang kondisi terkini suku Jawa di Suriname. Menurutnya, umat Muslim Jawa di Suriname terbelah menjadi dua.

Penulis "Selimut Debu" yang pernah menjelajah wilayah konflik Afghanistan ini menuturkan, ada warga yang shalat menghadap ke Barat karena nenek moyangnya dulu di Jawa shalat menghadap ke Barat. Ada pula yang shalat menghadap ke Timur. Mereka rata-rata datang belakangan ke pulau itu. Meski begitu, mayoritas warga tetap menghadap ke Barat.

Dikatakan Agustinus, konfliknya bukan hanya beda arah kiblat, tapi juga unsur budaya. Penduduk yang shalat menghadap ke Barat masih mempertahankan tradisi Jawa, sedangkan yang ke Timur menghapus sama sekali tradisi Jawa. Ada konflik sosial kultural di tengah masyarakat. Sejak tahun 1970-an sudah muncul agama baru, yaitu Kejawen atau Jawanisme.

"Langsung saya mendapat ide. Wah, ini cerita. Ini cerita yang harus dikejar. Akhirnya saya memutuskan terbang ke Suriname, tinggal selama dua bulan di sana untuk mempelajari tentang kehidupan beragama masyarakat Jawa Suriname," ujar Agustinus.

Menurutnya, suku Jawa di Suriname sangat menyambut baik kedatangannya. Mereka mengatakan, penulis Indonesia terakhir kali menulis tentang Jawa Suriname tahun 1976. Agustinus menjadi penulis kedua setelah hampir 50 tahun. Selama di Suriname, ia banyak mendapatkan bantuan dari komunitas Jawa untuk mendalami tentang isu sejarah dan agama. Bahkan, sempat berbicara di saluran televisi berbahasa Jawa di Suriname.

"Kemudian saya balik lagi ke Belanda. Jadi, total saya dua bulan di Suriname dan dua bulan di Belanda," lanjutnya. Di Belanda, Agustinus juga berinteraksi dengan komunitas Maluku. Ia mempelajari sejarah Republik Maluku Selatan (RMS) yang di tanah air dianggap kelompok separatis. Ia pun melakukan wawancara, mendengarkan penuturan para diaspora dari Maluku untuk mendapatkan kebenarannya.

Pengalamannya di negeri orang memberi Agustinus bekal untuk membangun jaringan, berkenalan dengan para peneliti, arkeolog, antropolog, dan penulis di negara tersebut. Ia menjadi jembatan bagi para diaspora tentang kondisi terkini di indonesia. Lanjut Agustinus, program residensi telah menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk melakukan riset di luar negeri.

"Buat saya, manfaat terbesar dari residensi ini adalah wawasan yang jauh terbuka," ujar lelaki keturunan Tionghoa ini. Kini, Agustinus sedang menyelesaikan narasi perjalanannya tentang nasionalisme Nusantara dalam bentuk buku.

Terpopuler