Ramadhan dengan Krisis Listrik dan Musim Panas Ekstrim

Red: Agus Yulianto

Jumat 09 Jun 2017 20:59 WIB

Napak tilas Bang Onim di Palestina Foto: foto: suarapalestina.id Napak tilas Bang Onim di Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, Bukan hal asing bagi sebuah penjara di manapun, bahwa penguasa penjara bebas dan sesuka hati menyediakan penerangan atau mematikannya untuk para tahanan.

Gaza, penjara terbesar di dunia mengalami hal serupa. Merasakan listrik selama 24 jam dalam satu hari adalah "dongeng" bagi masyarakat Palestina di Gaza. Dengan hanya memiliki satu satunya pembangkit listrik, Warga Gaza harus rela berbagi jadwal aliran listrik satu dengan yang lain.

8 jam listrik, 8 jam mati, begitulah pola aliran listrik di Gaza. Krisis listrik ini menjadi momok bagi warga Gaza sepanjang tahunnya. Namun, kondisi terparah terjadi di saat musim dingin dan musim panas. Di musim dingin, dimana suhu bisa mencapai 0 derajat celcius, penghangat air bisa membantu warga Gaza untuk menghadapi dinginnya air untuk berwudhu, mandi, mencuci dan sebagainya.

Adapun dimusim panas, ketika suhu panas mencapai lebih dari 35 derajat Celcius, kipas angin menjadi wajib dan listrik harus tersedia. Itupun bagi mereka yang mampu membeli kipas angin listrik. Musim panas kali ini juga menjadi mimpi buruk bagi warga Gaza yang tinggal di dalam kontainer kontainer karena rumahnya hancur oleh agresi Israel tahun 2014 silam. Kontainer yang bahan dasarnya "seng", dimusim panas berubah layaknya sebuah "kotak panggangan".

Musim panas juga menyebabkan bertambah panjangnya waktu siang hari dibandingkan malam hari. Kita bisa bayangkan, warga Gaza penghuni kontainer harus berpuasa sejak pukul 03.48 pagi hingga pukul 19.48 sore (16 jam) dan menghabiskan siang hari nya di dalam sebuah "panggangan".

Minimnya bantuan kemanusiaan

Di antara duka dan derita lain yang melanda waga Gaza dan perlu diketahui oleh dunia adalah berkurangnya perhatian dunia internasional baik itu negara negara muslim maupun non muslim terhadap isu Gaza.

Kenyataan yang pahit memang, sejak mencuatnya konflik "civil war" di Suriah, perhatian dunia khususnya umat islam terhadap Gaza harus diakui berkurang. Lebih khusus lagi yayasan yayasan amal di Indonesia saat ini berbondong bondong mengkampanyekan pengiriman bantuan untuk Suriah.

Saya pribadi sangat setuju dan mendukung dengan kampanya tersebut, semangat teman-teman memang luar biasa. Dan memang kenyataannya umat Islam saudara kita di Suriah memang sedang menderita dan membutuhkan uluran tangan kita. Namun, bukan alangkah baiknya ketika umat Islam di dunia, khususnya di Indonesia bisa tetap menolehkan mukanya untuk Gaza dan menyediakan porsi yang fair untuk warganya.

Di Jalur Gaza memang ada orang sukses dan hidup mereka lebih dari cukup, dapat mencukupi keluarga mereka akan tetapi jumlah mereka tidak banyak, lebih banyak dari kalangan kontraktor, pedagang atau bisnis men, selebihnya keluarga hidup mereka penuh keterbatasan dan ditimpah kesusahan alias keluarga fakir miskin.

Saya pernah menemui keluarga miskin. Bapaknya menderita sakit kangker, ibunya lumpuh, anak-anaknya tidak memiliki pekerjaan dan sakit-sakitan, tahu tidak awal puasa hingga kini apa yang mereka makan? Hanya timun layu dan air putih, bahkan tidak sedikit dari keluarga fakir di Gaza, mereka menjalani puasa hanya melanjutkan kondisi kesusahan dan perut lapar sebelum bulan puasa, sangat-sangat terbiasa dengan yang namanya perut kosong, ada seorang ibu menghampiri saya dan menyampaikan : "Demi Allah SWT awal puasa hingga kini keluarga kami mengkonsumsi salat bandora alias tomat diiris halus dan bawang diiris halus dikasih garam, tanpa roti."

Setiap kali kami distribusikan paket sembako maupun santap berbuka puasa dan sahur, mereka sangat bersyukur dan senang. Harga santap berbuka yang kami bagikan memang tidak begitu mahal per loyang dengan harga 10 dolar AS sekitar Rp 135 ribu. Isinya lauk ayam dan syrup plus nasi dan 1 loyang dapat di makan 6 orang. Kami berikan 2 loyang makanan, luar biasa senangnya mereka.

Umumnya Muslimin di Jalur Gaza menjelang adzan Magrib, tidak sesibuk seperti kita di Indonesia. Begitu adzan Magrib, minum air putih, makan 5 buah kurma udah pergi ke Masjid untuk shalat Magrib. Begitu seusai shalat Magrib duduk bersama keluarga dan santap makanan seadanaya seperti ayam dan nasi ini jika mereka yang hidup beruntung. Jika tidak beruntung, maka jadi buntung nasib mereka berbuka puasa dengan hidangan roti, salat (tomat diiris halus, bawang diiris halus dikasih garam), minyak zaitun, buah zaitun, adonana kacang-kacangan, bumbu za’tar, ya mayoritas dari mereka khususnya keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat akrab dengan hidangan tersebut.