Ber-Ramadhan di Tengah Gempuran Pesawat Jet Tempur Israel

Red: Agus Yulianto

Jumat 09 Jun 2017 20:53 WIB

Jet tempur F-15 milik Israel Jet tempur F-15 milik Israel

REPUBLIKA.CO.ID, Agresi Israel atas wilayah Jalur Gaza pada akhir tahun 2014 bertepatan juga dengan bulan Puasa, mencekam dan kematian di depan kelopak mata. Ya seperti inilah salah satu ungkapan yang pantas diucapkan kondisi saat itu.

Hari ke 3 bulan puasa, pada siang hari saya bersama anak istri. Saat itu, istri saya sedang hamil tua sedang berada di lantai 3 kediaman kami di Gedung Daarul Qur’an Nusantara cabang Gaza Palestina, tiba-tiba terdengar manuver pesawat dan BOOOOOMMMM hentakan dahsyat diserta guncangan menghancurkan atap lantai atas, kaca pecah dan pagar beton hancur.

Ternyata pesawat jet f16 melontarkan bom drum/barmil yang berfungsi merata tanahkan bangunan atau rumah. Bom tersebut jatuhnya hanya kurang dari 30 meter dari kediaman kami. Alhamdulillah saya dan anak istri selamat dan detik itu juga kami keluar dari rumah serta menuju ke rumah mertua di kota Jabalia Jalur Gaza Utara.

Saat berbuka puasa dengan keluarga, baru meneguk segelas air putih dan belum sempat membasahi tenggorkan kering, tiba-tiba saja gempuran bom menghujani wilayah Gaza. Hentakan suara sangat dahyat memecah pita pendegaran, memompa detakan jantung tak beraturan dan hanya kalimat mengingat Allah SWT yang keluar dari mulut. Allah SWT sebaik baik Maha Pelindung atas hambanya, kalimat pendek diucapkan oleh istri saya menguatkan kami yang sedang santap berbuka.

Belum lagi saat santap sahur, dentuman bom dan tembakan saling berbalasan antara pejuang Palestina dengan militer Israel ibarat petasan berantai seakan menemani santap sahur kami. Kematian begitu dekat dan tawakal kepada Allah SWT sangat tinggi, karena kami yakin bahwa kematian datang atas izin Allah SWT bukan kehendak roket-roket Yahudi.

Saat itu, saya bertugas sebagai reporter di salah satu tv swasta di Indonesia. Tugas sangat berat dan penuh resiko antara cacat atau wafat karena saat terjadi peperangan, maka roket-roket Israel tidak hanya sasarannya kepada pejuang Palestina, akan tetapi juga mencari dimana keberadaan wartawan. Pihak Yahudi sangat alergi dengan keberadaan wartawan yang meliput dan menyiarkan kabar perang.

Tugas begitu berat karena hampir tidak mengenal yang namanya tidur atau istrahat. Harus stand by sewaktu-waktu di telepon oleh news room untuk siap di depan kamera dalam rangka live atau siaran langsung mengabarkan kabar terkini Jalur Gaza.

Sebagai wartawan harus paham kondisi di lapangan, rajin ikuti situasi yang ada karena jika lalai maka jet temput Israel menghampiri tempat anda berada dan melontarkan roket ke arah anda, maka akibatnya akal fatal. Berapa kali saya di minta oleh tim pusat agar bisa live diruang terbuka, saya tolak mentah-mentah, sama saja bunuh diri, kataku.

Pernah beberapa detik setelah melakukan live, tiba-tiba pesawat tanpa awak menghampiri tempat live dan melonarkan satu roket peringatan, roket tersebut mengenai tangga dan tembok hancur berantakan. Itu baru roket peringatan dari pesawat tanpa awak milik Israel, bagaimana jika mereka lontarkan roket dari pesawat jet f16, maka semua rumah dan daerah sekitar jadi rata dengan tanah tanpa puing puing.

Selain roket dari pesawat dan roket artileri yang dilontarkan dari moncong tank Merkava, ada yang namanya gas beracun. Pagi itu kami sedang sahur sembari menunggu jam live. Sedang asik makan sahur tiba-tiba asap menghampiri kami menyusup dari sela-sela pintu dan jendela, asap hitam pekat..bau apa ini dan asap berasa dari mana? Tanyaku pada kru, ini asap beracun, tutup mulut mu dengan kain basah..sulit untuk bernapas dan menyebabkan muntah yang sangat.

Malam-malam mencekam kami lalui. Awal perang memang terasa berat dan sangat menakutkan karena kondisi seperti ini bukan hal biasa bagi saya sebagai warga asing. Akan tetapi beberapa hari kemudian ketakutan dalam diri berangsur tenang dan menjadi terbiasa akan kondisi perang, walau terbiasa akan tetapi nurani ini seakan tercabik-cabik disaat mendegar tangisan bocah-bocah dan para wanita ditambah lagi korban berjatuhan dan tewas anda saksikan dengan mata kepala anda, dentuman bom diiringi tangisan dan suara mobil ambulance meraung-raung sepanjang siang maupun malam.

Agresi Israel diakhir tahun 2014, menyebabkan shalat Taraweh terpaksa tidak kami lakukan berjamaah di masjid-masjid. Namun, kami laksanakan di rumah masing-masing. Bahkan shalat Idul Fitri pun hanya di masjid dan mushala terdekat karena tidak sedikit dari masjid-masjid yang digempur pesawat jet f16 disaat Muslim Gaza sedang shalat berjamaah di dalamnya. Agresi 2014 menewaskan tak kurang dari 2.700 warga Gaza dan melukai lebih dari 11 ribu orang.

Ramadhan tahun ini 1437 H (2016) tidak ada agresi Israel, semoga tidak ada lagi agresi. Alhamdulillah, muslimin di Jalur Gaza menjalani ibadah shaum Ramadhan dengan khusyuk walau serba keterbatasan dan kekurangan dikarenakan masih diblokade oleh Israel.