Pelaku Industri Harus Maksimal Fasilitasi Pelancong Muslim

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Didi Purwadi

Kamis 08 Jun 2017 17:29 WIB

Pengunjung menikmati matahari terbenam di Pantai Sengigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto: Republika/Agung Supriyanto Pengunjung menikmati matahari terbenam di Pantai Sengigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Ketua Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF), Priyadi Abadi mengatakan, kemanapun Muslim bepergian, mereka tidak bisa meninggalkan kewajiban sebagai seorang Muslim. Ini jadi tantangan sendiri bila tujuan wisatanya adalah negeri minoritas Muslim.

''Sebagai operator, saya prihatin. Kebutuhan wisatawan Muslim belum difasilitasi biro perjalanan Muslim,'' kata Priyadi dalam bedah buku 'Muslim Traveller Solution' di Ballroom Masjid Hubbul Wathan Islamic Center NTB, Mataram, Rabu (7/6).

Selama ini wisatawan Muslim hanya diakomodasi saat umrah. Akhirnya wisatawan Muslim ke biro perjalanan konvensional dimana kebutuhan mereka juga tidak terpenuhi.

Dari pengamatannya, biro perjalanan Muslim hanya fokus pada haji dan umrah. Wisata di luar dua itu belum digarap. Kalaupun menyertakan negara-negara non-Muslim, itu kadang hanya sepintas saja sebagai bagian paket umrah seperti umrah plus ke Turki atau Andalusia.

Dalam bukunya 'Muslim Traveller Solution', Priyadi memberi contoh negara-negara Eropa Barat yang sering jadi destinasi wisata para pelancong Muslim tapi punya tantangan sendiri soal makanan halal dan fasilitas shalat. Di sana ada masjid-masjid raya di ibukota.

Selain itu, para pengusaha biro perjalanan Islami juga mencoba mengedukasi restoran dan hotel untuk memfasilitasi kebutuhan wisatawan Muslim.

''Ada pelaku industri di Eropa yang sadar pariwisata Muslim itu pasar besar,'' katanya. ''Proyeksinya nilai wisata halal pada 2020 mencapai 2,6 triliun dolar AS.''

Negara seperti Thailand dan Taiwan melihat Indonesia potensial dan sangat serius menggarap pasar wisata halal. Kuncinya adalah pada sertifikasi halal dan Priyadi melihat Indonesia Indonesia harus bersegera.

''Makan di restoran di Indonesia, kita yakin halal. Tapi apa punya sertifikat halal? Belum tentu. Padahal, wisatawan Muslim mancanegara sangat berpegang pada sertifikat halal yang dikeluarkan otoritas,'' ungkap Priyadi.

Sertifikasi dan standardisasi sudah jadi acuan global. Kalau mengaku halal, resto harus mencantumkan sertifikat halal. Sebab, ini tuntutan dasar wisatawan Muslim mancanegara.

Pemerintah Indonesia sedang menggiatkan wisata halal nasional. Priyadi menilai Indonesia tidak kalah bagus dengan negara lain. Dalam Global Travel Muslim Index (GMTI) 2017, Indonesia berada di urutan ke tiga. Padahal harusnya, lanjut Priyadi, Indonesia di urutan pertama mengungguli Malaysia.

Terpopuler