Kisah Pengalaman Ramadhan Syekh Muath di Palestina

Rep: Andrian Saputra/ Red: Andri Saubani

Kamis 08 Jun 2017 07:14 WIB

Lentera tembikar di sebuah rumah produksi di Jalur Gaza,Palestina, yang biasa digunakan sebagai dekorasi ramadhan. Foto: EPA/Abed Alhashlamoun Lentera tembikar di sebuah rumah produksi di Jalur Gaza,Palestina, yang biasa digunakan sebagai dekorasi ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, Syekh Muath H.A Alamaoudi tak henti-hentinya mengucap syukur. Dia merasa Allah SWT tengah memberikan kenikmatan begitu besar, memberikannya kesempatan menjalankan puasa Ramadhan tahun ini di negara dengan mayoritas muslim terbanyak di dunia. Syekh Mu’ath begitu gembira bisa menikmati waktu sahur dan berbuka puasa dengan muslim Indonesia.

Dengan hidangan-hidangan yang beraneka ragam. Jika ingin sholat berjamaah, dia dapat dengan mudah mengakses masjid. Kapan pun punya kesempatan untuk membaca Al Qur’an. Tak ada kekhawatiran, karena tak mendengar detuman-detuman bom, roket atau letupan peluru. Suasana Ramadhan di Indonesia begitu berbeda dibanding dengan negara asalnya, Palestina.

Terakhir, tiga tahun lalu, Syekh Mu’ath masih merasakan hembusan udara Gaza, Palestina, tempat tinggalnya. Dia memperoleh beasiswa untuk belajar di beberapa perguruan tinggi ternama seperti di Tunisia dan Maroko. Ia tak tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Mu’ath berhasil keluar dari Gaza, padahal saat itu (dan masih hingga saat ini) Gaza di blokade. Tak sembarang orang bisa masuk dan keluar ke wilayah itu.

Dengan maksud agar muslim di Indonesia dapat mengambil hikmah, mempererat ukhuwah, secuil gambaran tentang suasana Ramadhan di Gaza pun diceritakannya. Dia menerangkan, jika datang waktu berbuka puasa, warga Gaza akan menyambutnya dengan gembira, menikmati hidangan berbuka penuh kesederhanaan, dari bantuan-bantuan logistik yang berhasil masuk ke Gaza.

“Makan hanya sekali bagi kami. Kami harus memilih, jika berbuka kami makan, maka kami tidak makan saat sahur. Dan itu sudah terbiasa bagi kami,”  tutur Syekh Mu’ath saat mengisi diskusi bersama mahasiswa Universitas Sebelas Maret pada Rabu (7/6) siang.

Saat malam tiba, wilayahnya itu akan gelap gulita. Tak ada penerangan. Sebab, warga hanya bisa menikmati listrik selama tiga jam saja, mulai dari waktu maghrib. Namun, lantunan ayat-ayat suci Al Quran terus terdengar, selain karena setiap warganya bisa membaca Al Quran, ada puluhan ribu muslim Palestina yang hufadz (hafal Quran), hingga Ramadhan tak sepi dari bacaan ayat suci.

“Saat kami ingin shalat ke Al Aqsho tidak boleh. Pemuda-pemuda yang ingin shalat ditendang, penjagaan di sana begitu ketatat, tapi mereka terus kembali datang. Kami belajar di reruntuhan, fasilitas kesehatan minim, ekonomi di sana belum stabil,” tuturnya.

Kendati begitu, dia tetap bersyukur. Baginya dan warga Palestina, negerinya itu adalah tanah yang diwaqafkan oleh umat Muslim untuk dijaga. Sebab itu, kata dia, menjadi kewajiban bagi warga di sana untuk terus menjaga dan mempertahankannya. Dalam safari Ramadhannya ke Indonesia, dia hanya berharap muslim Indonesia tak melupakan Palestina. Dia yakin, Muslim di Indonesia mengerti betul tentang makna menjaga ukhuwah.

Terpopuler