Derita Warga Yaman Berpuasa dalam Kelaparan

Rep: mgrol96/ Red: Agus Yulianto

Selasa 06 Jun 2017 15:07 WIB

Kelompok-kelompok suku di Yaman yang merasakan kelaparan akibat perang (Ilustrasi) Foto: www.bbc.co.uk Kelompok-kelompok suku di Yaman yang merasakan kelaparan akibat perang (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Sekitar 17 juta orang di negara Yaman menghadapi kondisi yang memilukan. Warga di Yaman, negara yang hancur dilanda perang merasakan kelaparan sepanjang hari di bulan Ramadhan..

Fatima Salah (58 tahun) tidak tidur siang yang cukup di siang hari seperti banyak orang lakukan ketika berpuasa. Dia mengembara, di Kota Sanaa mengunjungi tetangga dan toko-toko lokal, dengan harapan bisa mendapatkan cukup makanan untuk memberi makan keluarganya pada malam hari.

”Saya lelah dan haus karena berjalan kaki, dan saya telah berpuasa tanpa sahur yang baik,” tutur Fatima kepada Al Jazeera (5/6), dengan air mata berlinang.

”Saya dulu hidup dengan harga diri di rumah saya, dan bulan Ramadhan adalah bulan terbaik saya, perang telah membuat kita kehilangan sukacita setiap hari. Ramadan sebelumnya baik-baik saja, tapi yang ini sangat sulit. Kami puasa di siang hari dan kelaparan di malam hari.”

Di seluruh dunia Muslim, Ramadhan dijadikan momen yang menyenangkan dan momen spiritual. Tapi di Yaman yang dilanda perang, hanya ada sedikit ruang untuk sukacita akhir-akhir ini. Bantuan kemanusiaan dari masyarakat Internasional saat ini sulit menjangkau rakyat sipil. Sehingga himbauan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa 17 juta orang di Yaman.

Perang yang terus berlanjut selama lebih dari dua tahun, telah membuat banyak keluarga Yaman mengalami kemiskinan dan keputusasaan. ”Ini adalah bulan Ramadhan, dan saya sampai ke leher saya dalam kemiskinan,” ucap Fatima.

”Saya membutuhkan makanan untuk keluarga saya dan saya perlu membayar 20.000 riyal untuk sewa rumah. Saya memiliki dua kekhawatiran tanpa henti: kelaparan dan penggusuran.”

Wabah diare akut (kolera) semakin memperparah kondisi warga Yaman dalam menjalani bulan Ramadhan tahun ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada lebih dari 530 kematian dan lebih dari 65 ribu kasus kolera yang dicurigai muncul sejak April lalu.

Mohamed al-Mokhdari, ayah dari 10 anak yang tinggal di Sanaa, mengatakan, bahwa dia bersyukur anak-anaknya tidak menderita kolera. Namun, dia tidak senang dengan situasi yang dihadapi orang-orang Yaman selama bulan suci ini.

”Ramadhan adalah saat yang spesial, sayangnya, saya tidak merasakan kebahagiaan yang pernah saya rasakan sebelum perang di Yaman. Harga makanan tinggi dan uang sulit didapat di sini,” keluh Mokhdari kepada Al Jazeera.

Agar bisa menghasilkan uang, dua anak mudanya mulai mengumpulkan botol plastik dari jalanan dan menjualnya ke pabrik daur ulang. Mokhdari sendiri menganggur. Dia dan keluarganya tidak mampu merayakan Ramadhan dengan mewah. Setiap waktu berbuka, menu buka puasa keluarganya hanya terdiri dari yoghurt dan roti.

”Sulit, kita hampir tidak menemukan nasi dan roti. Makan daging, ayam, sayur yang cukup dan buah telah menjadi impian Ramadhan ini,” katanya. “Lewatlah sudah hari-hari ketika Ramadhan dulu memiliki selera khusus di rumah saya dan semua orang di Yaman,” ujarnya.

 

Ekonom Yaman, Saeed Abdulmomin sepakat bahwa keadaan menjadi sangat mengerikan pada tahun ini. ”Gaji tidak dibayar, harga telah melonjak dan bisnis stagnan,” katanya.

Terpopuler