REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Aktivitas para santri di Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir Kabupaten Jombang selama Ramadhan 1438 H tahun ini benar-benar padat. Setiap hari, mereka menggelar pengajian 25 macam kitab kuning. Dalam mengaji kitab kuning, para santri mendengarkan ustaz menjelaskan arti kata per kata. Kemudian santri menulis dengan huruf pegon atau sering disebut maknani, di bawah barisan kata Arab gundul tersebut. Selanjutnya ustaz menerangkan makna kalimat secara keseluruhan dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.
Pengajian kitab kuning diselenggarakan setiap hari usai shalat wajib. Pengurus Majelis Ilmi Ponpes Tebuireng, Ustaz Muhammad Shobirin, mengatakan selama Ramadhan kegiatan santri-santri sehari penuh diisi pengajian kitab kuning. Dimulai dari bakda Subuh hingga bakda Tarawih sampai pukul 22.30 WIB.
Ia menjelaskan, bakda Subuh sebagian santri mengaji Alquran bagi yang belum lulus. Sebagian lainnya mengaji kitab kuning. Kitab yang dikaji antara lain, Anwarul Masalik dan Attibyan Fi Adabi Khamalatil Quran. Kitab Attibyan tersebut membahas mengenai adab membawa Alquran. Selain itu, kitab Misykatul Anwar yang membahas mengenai tasawuf, serta kitab Sulamul Munajah mengenai fikih dasar.
"Total pengajian ada 25 kitab dengan 30 ustadz. Santri diminta memilih, setiap unit disediakan beberapa kitab. Tapi kami mewajibkan tiga waktu yakni bakda Ashar, bakda Magrib dan bakda Subuh. Targetnya 25 kitab kuning itu khatam semua," jelas Ustaz Shobirin saat ditemui Republika.co.id di kantor pondok putra Ponpes Tebuireng, Ahad (4/6).
Menurutnya, kitab-kitab yang dikaji tersebut lebih banyak membahas mengenai adab yang diprioritaskan untuk santri, serta mengenai kehidupan sehari-hari. Pemilihan kitab disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak memberatkan santri. "Kami memang sengaja memilihkan kitab yang dibutuhkan para santri sehingga mudah dipahami. Diharapkan setelah Ramadhan para santri bisa mengamalkan isi kitab," imbuhnya.
Pengajian kitab kuning saat Ramadhan di pondok yang didirikan sejak 1899 tersebut memang lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Jika saat hari biasa para santri disibukkan dengan kegiatan sekolah. Kemudian bakda Magrib mengaji kitab diniyah. Sementara saat Ramadhan, komposisi mengaji lebih banyak.
Jam sekolah dibatasi sampai pukul 10.30 WIB. Sisanya, waktu digunakan untuk mengaji. Di samping itu, para santri diwajibkan shalat malam (qiyamul lail) saat masuk waktu sahur.
Saat ini, total santri di Ponpes yang diasuh oleh KH Solahuddin Wahid tersebut sebanyak 1.900 santri putra dan 900 santri putri. Selain itu, terdapat santri kilatan yang hanya ikut mengaji saat Ramadhan, jumlahnya sekitar 20 santri. Para santri berasal dari berbagai daerah di Indonesia. "Santri paling jauh berasal dari Malaysia. Dia sudah lima tahun mondok di sini," ucapnya.
Salah satu santri, Muhammad Najib Badrussofa (17) mengaku selalu lebih bersemangat saat Ramadhan tiba. Meskipun kegiatan lebih padat dibanding hari-hari biasa, namun Najib tidak merasa malas-malasan. "Belajar di pondok selama Ramadhan itu suasana beda jauh dengan belajar hari-hari biasa. Ada rasa tambah semangat. Kita didorong terus. Hari-hari biasa juga bisa belajar full, tapi ngajinya cuma setengah hari, ada yang malas-malasan. Kalau Ramadhan walau sehari penuh santri terus terdorong untuk belajar," ucapnya.
Santri asal Tarakan, Kalimantan Utara tersebut telah tiga tahun nyantri di Ponpes Tebuireng. Awalnya ia mengikuti perintah kedua orangtuanya untuk nyantri di Tebuireng. Kini, ia merasakan manfaat setelah menjadi santri. "Yang paling gede dibentuk di sini masalah kepribadian anak lebih mandiri. Pengalaman bersosialisasi dengan teman-teman lain. Terus juga tambah ilmu-ilmu agama," ujar Najib yang telah mendaftar kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya tersebut.
Santri lainnya, Deva Juanda Meksiko (13), merasakan hal yang sama. Saat Ramadhan, ia merasa lebih semangat karena pahala berlimpah. "Kalau hari-hari biasa banyak malasnya karena itu-itu saja kegiatannya," ujar santri asal Jombang tersebut.
Deva mengaku cukup rumit mempelajari kitab kuning. Menurutnya, membaca kitab kuning sulit karena tidak ada harokatnya. Ia mengaku menggemari kitab Taklim Mutaalim yang membahas mengenai adab seorang murid/santri dalam menuntut ilmu. "Sekarang sedikit-sedikit sudah bisa baca. Harapan saya kalau setelah lulus dari pondok bisa bermanfaat bagi masyarakat," ucap santri yang bercita-cita menjadi bupati tersebut.
Sementara itu, pengajian kitab kuning selama Ramadhan di pondok putri sedikit berbeda. Sebab, jumlah santri lebih sedikit dibandingkan pondok putra. Menurut Ketua Pembina Pondok Putri, Robiatul Adawiyah, terdapat empat kitab yang dikaji para santri di pondok putri, dan lima kitab bagi santri yang telah naik ke kelas III SMA. Sehingga santri putri tidak bisa memilih kitab yang akan dikaji.
"Yang istimewa di pondok putri itu setiap tahun tiap bakda Isya ngaji kitab bab nikah, tapi kitabnya ganti-ganti terus tiap tahun. Sekarang kitab Fathul Qarib. Mungkin untuk mempersiapkan santri yang mau nikah," ucap ustazah asal Kediri tersebut.
Selain itu, pondok putri memiliki ekstrakurikuler keputrian berupa keterampilan merajut, tata boga dan tata rias. Kegiatan ekstrakurikuler ini bisa diikuti sepanjang tahun dengan memilih salah satunya.