REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN -- Masjid Raya Al Mashun Medan kembali menyediakan bubur sop bagi jamaah dan pengunjung selama Ramadhan 2017. Makanan khas Melayu ini dibagikan secara gratis setiap hari selama sebulan penuh.
Salah satu juru masak, Darlis mengatakan, tradisi memasak dan membagikan bubur sop telah ada sejak ratusan tahun lalu. Tradisi ini diperkirakan muncul pada 1909. Saat itu, Kesultanan Deli dipimpin Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah, raja ke-9.
"Tradisi ini sudah lama ada. Rutin tiap tahun dibagikan, memang untuk masyarakat umum," kata Darlis saat berbincang dengan Republika.co.id, Ahad (4/6).
Juru masak yang lain, Hamdan, menguatkan pernyataan Darlis. Menurut dia, tradisi membagikan bubur kepada masyarakat memiliki sejarah tersendiri sejak zaman dulu. "Sudah dari zaman sultan. Dulu bubur ini santapan para raja," kata Hamdan.
Ada sekitar seribu porsi bubur yang disediakan setiap hari. Para juru masak yang berjumlah empat orang bersiap memasak sekitar pukul 12.00 WIB. Proses pengolahan bahan menjadi bubur sop pun dimulai setelah mereka menunaikan shalat Zuhur.
Menurut Darlis, ada sekitar 30 kg beras yang digunakan setiap hari. Terkadang, bubur sop yang dibuat ini hanya cukup untuk sekitar 600 orang. Hal ini dikarenakan ada warga yang membawa wadah yang besar dan lebih dari satu.
Selain beras, ada juga bahan pelengkap bubur, seperti daging sapi, kentang, wortel, dan bumbu yang lain. Proses memasak bubur sop ini, kata Darlis, membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Setelah jadi, bubur sop siap dibagikan kepada warga yang telah ramai menunggu. Pembagian ini biasanya dilakukan setelah solat Ashar atau sekitar pukul 16.00 WIB.
Darlis mengatakan, dulunya, makanan yang dibagikan di Masjid Raya Medan adalah bubur pedas. Namun, karena cara masak yang rumit dan bahan yang dibutuhkan lebih banyak, bubur pedas diganti menjadi bubur sop.
"Saya ikut masak tahun 2004, udah bubur sop. (Bubur pedas) Lebih banyak bumbunya, masaknya juga lama. Jadi diganti bubur sop," ujar Darlis.
Hamdan menambahkan, Masjid Raya Medan mengganti hidangan bubur pedas menjadi bubur sop mulai 1960. Namun, masih ada kekeliruan pada masyarakat dengan menganggap bubur sop adalah bubur pedas.
Padahal, kata dia, ada perbedaan yang cukup jauh antara kedua makanan khas Melayu ini. Bubur pedas biasanya disantap dengan anyang, yaitu sayuran, seperti pakis dan tauge yang diolah dengan cabai, udang kering, parutan kelapa goreng, dan asam jeruk.
Sementara bubur sop, kata Hamdan, berbahan dasar beras, daging dan sayuran. Rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbunya pun tidak sebanyak bubur pedas. "Sekarang bahan pembuatan bubur pedas sulit didapatkan. Yang bisa memasak juga sangat terbatas orangnya," ujar Hamdan.
Terkait dana yang dikeluarkan untuk menyediakan bubur sop tersebut, Darlis mengatakan, berasal dari Yayasan Masjid Raya. Selain itu, dana juga berasal dari infak dan sumbangan yang diberikan jamaah. "Untuk sebulan, kira-kira butuh Rp125 juta lah ini semua," kata dia.
Berdasarkan pantauan Republika, demi menikmati hidangan ini, warga sudah mengantre di pelataran masjid sejak siang. Mereka meletakkan wadah makanan yang mereka bawa di dekat tempat pembuatan bubur sop.
Penikmat bubur sop ini pun tak hanya berasal dari Medan. Ada juga jamaah yang dari luar kota, misalnya Binjai dan Deli Serdang. Mereka rela berdesakan untuk melihat langsung proses pembuatan dan mendapatkan bubur tersebut.
Salah satu warga yang mengantre, Hj Lus (58 tahun) mengaku datang ke Masjid Raya sejak pukul 14.00 WIB agar bisa mencoba bubur sop. Warga Jl Bromo, Medan Denai ini mengaku penasaran dengan makanan khas Melayu tersebut.
"Shalat di sini sudah sering tapi baru kali ini mau nyoba bubur ini. Tiba-tiba mau nyoba jadi saya bawa wadah makanan," kata Lus yang datang bersama cucunya ini.