Ramadhan, Sarana Melatih Integritas

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko

Ahad 04 Jun 2017 16:00 WIB

Ramadhan Foto: Republika/Wihdan Hidayat Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perintah puasa sejatinya bertujuan agar seseorang menjadi takwa. Ini sesuai dengan apa yang disematkan Allah SWT mengenai tujuan puasa pada QS al Baqarah ayat 183. "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa…."

Syed Anwar Ali menjelaskan, tujuan ibadah puasa sebenarnya hanya dapat dicapai jika orang mempunyai rasa takut kepada Allah SWT di dalam hatinya. Ketika seseorang menjauhi segala larangan dan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT. Alquran berulang-ulang mengingatkan orang-orang beriman agar takut kepada Allah. "Hai sekalian manusia, bertakwalah hanya kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu." (QS an Nisa: 1). 

Menurut Syed Anwar Ali, ketakwaan merupakan kontrol paling efektif dan pengendali terkuat terhadap perbuatan dosa. Secara naluriah, orang akan menyingkirkan kelakuan tidak benar yang tersembunyi. Perilaku negatif yang memengaruhi kepribadiannya, bahkan masyarakat luas di lingkungannya bisa diredam. Bentuknya bisa beraneka macam, dari pencurian, perampokan, perkosaan, perzinaan, hingga korupsi. 

Saat meraih derajat takwa, orang itu tidak akan merampas hak orang lain, tidak akan menyuap atau menerima suap, mendapatkan harta dengan cara tidak halal. Dia pun akan menghindari diri dari perbuatan negatif sebab takut saat diminta pertanggungjawaban Allah SWT di hari akhir kelak. 

Imam Al Ghazali pun berkata, ibadah adalah milik-Nya karena merupakan alat untuk memerangi musuh Allah. Musuh itu tidak lain adalah ego manusia yang bekerja lewat nafsu dan amarah yang tidak semestinya. Mereka akan menjadi semakin kuat dengan makan dan minum. Karena itu, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya setan itu memengaruhi anak-anak Adam dengan merasuki aliran darah mereka. Maka, sumbatlah jalan-jalannya itu dengan lapar." Nabi pun pernah berkata kepada Aisyah Ra. "Ketuklah pintu surga terus-menerus." Aisyah lalu bertanya, 'Dengan apa aku harus mengetuknya?' Rasulullah SAW menjawab 'dengan lapar'.

Beruntunglah kita yang diberikan instrumen puasa sebagai sarana untuk melatih integritas. Dengan puasa, seseorang dilatih untuk tidak melakukan segala sesuatu yang notabene halal. Makan, minum, berhubungan biologis dengan suami/istri hingga merokok dilarang dilakukan pada siang hari. Pada waktu berbuka, barang itu pun mendapatkan kembali kehalalannya. Jika barang yang halal saja bisa kita tinggalkan karena perintah Allah SWT, apalagi barang haram. 

Meski demikian, puasa pun tidak sebatas lahir saja. Imam Ghazali pun menggolongkan puasa menjadi tiga tingkatan. Puasa biasa, puasa khusus (istimewa), dan puasa khususul khusus (teristimewa dari yang istimewa). Puasa biasa adalah menjaga diri dari makan, minum, dan berhubungan biologis pada siang hari. Hal-hal yang dilarang seperti apa yang disampaikan di atas. 

Sementara itu, puasa istimewa adalah puasa menjaga telinga, mata, lidah, tangan, dan kaki. Juga anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang salah. Dalam artian, puasa lahir tadi juga diejawantahkan dalam bentuk pertahanan diri melawan maksiat. Ibadah teristimewa dari yang istimewa adalah mengarahkan ibadah kepada puasa hati. Saat menggapai tahap ini, seorang hamba akan menjauhkan pikiran yang rendah dan masalah-masalah duniawi. Orientasi jiwanya hanya kepada Allah SWT.  Wallahualam.

Terpopuler