Takwa dari Puasa tak Diberi, Tapi Dicari

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agus Yulianto

Ahad 04 Jun 2017 11:41 WIB

Jamaah mengikuti kajian bakda Dzuhur di Masjid Hubbul Wathan Islamic Center NTB, Mataram (Ilustrasi) Foto: Republika/Fuji EP Jamaah mengikuti kajian bakda Dzuhur di Masjid Hubbul Wathan Islamic Center NTB, Mataram (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Sesuai Alquran surat Al-Baqarah ayat 183, tujuan puasa adalah membentuk manusia bertakwa. Namun, ketakwaan tersebut bukan pemberian, tapi hasil usaha.

Dalam tausiyah jelang tarawih di Masjid Hubbul Wathan baru-baru ini, TGH M. Mukhtar mengatakan, bila menelaah Al-Baqarah ayat 183 ayat, Allah memanggil orang-orang beriman dan mewajibkan berpuasa. Puasa diwajibkan akan membawa dampak pada pelakunya yakni berhenti dari hal buruk agar menjadi manusia bertakwa. ''Kata la-'alla dalam ayat ini berarti takwa tidak diberi, tapi dicari,'' kata Ustadz Mukhtar.

Menurut Ibnu Hisyam dalam Siratun Nabi, ayat ini turun pada 10 Sya'ban pasa 2 Hijriyah. Pada tahun itu juga terjadi perang Badar sehingga saat itu Rasulullah dan para sahabat sedang berpuasa.

Kata qutiba dalam ayat tersebut punya makna lebih dalam dari sekadar diwajibkan, tapi kewajib pada umat Muhammad yang berpengaruh pada kehidupannya sehingga betul-betul bisa mencapai takwa. ''Dengan ayat itu, tanpa Allah wajibkan, harusnya kita mewajibkan diri kita berpuasa. Umat terdahulu pun seperti itu,'' kata Ustadz Mukhtar.

Masyarakat Mesir kuno, Yunani? dan Romawi punya juga waktu berpuasa karena puasa berdampak pada spiritulitas. Para penyembah bintang juga berpuasa wajib selama 30 hari dan puasa sunnah selama belasan sampai sekitar 20 hari.

Puasa juga bisa menggunakan istilah shaum. Tapi ayat ini menggunakan kata shiyam yang berarti berhenti. Dalam konteks Ramadhan maknanya adalah berhenti dari hal-hal buruk.

Bagi mereka yang sakit dan musafir lalu tidak berpuasa, maka wajib mengganti pada hari di luar Ramadhan. Pernah satu ketika Rasul bepergian bersama sahabat saat Ramadhan, sebagian mereka tidak berpuasa dan Rasul tidak mencela.

Kalau sakit, boleh tidak puasa kalau dengan puasa justru makin mengancam jiwa atau dengan puasa sakitnya jadi berkepanjangan. Bila kemudian mereka tidak sanggup mengganti puasanya di hari lain, mereka wajib membayar fidhiah.