REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: TGH Muhammad Zainul Majdi *)
Di dalam perintah puasa, Allah SWT menyampaikan Ya ayyuhalladzina amanu kutiba 'alaikum al-shiyam kama kutiba 'alalladzina min qablikum (QS Al Baqarah:183) yang memiliki arti, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Kewajiban puasa ini tentu bukan kewajiban yang hanya monopoli kalian, tetapi juga telah diwajibkan kepada umat umat sebelumnya. Artinya apa, di dalam perintah puasa ada yang namanya makna kontinuitas, ketersambungan, atau keberlanjutan. Bagaimana kita memahami keberlanjutan. Keberlanjutan itu baru akan menjadi relevan, kalau kita memahami seluruh risalah dari para nabi dan rasul yang sebenarnya esensi dan substansinya satu yaitu Islam, menyembah hanya kepada Allah SWT, dan tidak sekali-sekali menyekutukannya dengan apapun.
Karena risalah itu satu, maka syariat-syariat utama juga diberikan oleh Allah SWT kepada semua dengan perbedaan dalam perincian. Ada yang puasanya misalnya umat sebelumnya selama 15 hari atau 20 hari, kita satu bulan penuh dan bermacam-macam. Dari perspektif ini kita bisa melihat bahwa umat manusia itu dipandang oleh Allah SWT sebagai suatu kesatuan. Meskipun, beda-beda jaman nabinya, namun esensi risalahnya tetap sama, beda-beda jamannya, akan tetapi inti dari spiritualitas yang harus diciptakan itu adalah sama.
Kalau ini diberlakukan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia dan seluruh umat para nabi dan rasul, maka seharusnya kesadaran ini harus lebih kuat lagi di kalangan umat Islam. Jadi kalau umat para nabi dan rasul yang berbeda saja ada kontinuitas dan keberlanjutan, serta ada kesatuan risalahnya, maka kesadaran akan kesatuan risalah itu harus lebih kuat lagi di kalangan umat nabi besar Muhammad SAW.
Artinya, puasa itu bagian dari refleksi akan kesatuan kita, sehingga dengan demikian hal-hal yang bisa mengganggu atau merusak kesatuan umat bisa kita kelola dengan baik. Kemudian, di sisi yang lain juga, puasa dilaksanakan di dalam satu waktu yang sama bagi umat Islam, berlaku dari ujung barat sampai ujung timur, utara dan selatan di bumi Allah ini, berlaku sama yaitu di bulan suci ramadhan.
Hal ini menyimpan makna bahwa keseragaman menunaikan ibadah puasa dalam satu waktu yang bersamaan melatih dan mengingatkan kita untuk merasa senasib dan sepenanggungan sebagai satu umat. Senang sama-sama, susah sama-sama, menghadapi tantangan juga sama-sama. Perasaan-perasaan sepenanggungan dan senasib seperti ini yang akan menumbuhkan solidaritas di kalangan umat.
Jadi pesannya, solidaritas umat itu kuat sekali di bulan suci ramadhan sehingga diharapkan bakda ramadhan, Hadzihi ummatukum ummatan wahidah (QS Al Anbiya:92) bisa terwujud. Semoga bakda ramadhan, La'allakum tattaqun yang diarahkan kepada semua umat Islam, tanpa kecuali itu secara kolektif bisa terwujud.
Jadi dalam bulan suci ramadhan ini, terdapat solidaritas yang terbangun dari rasa senasib dan sepenanggungan dari seluruh umat yang melaksanakan puasa pada bulan suci ramadhan dan itu diharapkan bisa mengokohkan persatuan umat pascaramadhan dan seterusnya.