REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Gubernur NTB, TGH Muhammad Zainul Majdi
Ramadhan sebagai bulan madrasah, kalau kita melihat di dalam Alquran ketika Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menjalani bulan puasa di dalam bulan suci ramadhan, tujuan akhirnya adalah agar kalian semua bertakwa.
Ketika kita melihat konsepsi takwa itu kan pendekatannya bermacam-macam, ada konsepsi takwa yang meletakkan takwa itu di dalam satu rangkaian yang menaik atau mendaki. Artinya ada yang merupakan tahap sangat mendasar, ada kemudian tahapan berikutnya yang lebih tinggi kualitasnya, dan bahkan ada tahapan sangat luar biasa yang diharapkan bisa menjadi tujuan akhir di dalam proses manusia dalam kehidupannya.
Yang paling mendasar dari takwa itu rumusannya sederhana, menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang. Lalu kemudian ada yang lebih tinggi dari itu yaitu meninggalkan apa-apa yang boleh karena khawatir bisa jatuh pada sesuatu yang tidak boleh.
Kalau yang pertama urusannya halal-haram, yang selanjutnya itu urusannya pantas atau tidak pantas. Jadi yang pertama itu terkait hal-hal yang terkait legal formal, apa yang boleh dalam kehidupan, makanan yang halal-haram, perilaku yang boleh atau dilarang, maka yang berikutnya adalah meninggalkan hal-hal yang sebenarnya boleh, tapi karena melebihi proporsionalitasnya, kewajarannya, maka dia bisa membawa pada sesuatu yang tidak baik.
Maka tidak keliru kalau takwa dipahami sebagai sesuatu yang dinamis bukan statis. Ada proses, ada gerak, dan ikhtiar di situ. Dari sini, tidak salah kalau Ramadhan adalah madrasah spiritual bagi seorang muslim, bagaimana dia memandang kehidupan ini tidak hanya sebatas aspek yang legal formal, boleh atau tidak boleh tapi juga aspek etika apa yang pantas dan tidak pantas.
Saya pikir kalau kita mampu mengintegrasikan dua perspektif ini lalu merangkumnya dalam kehidupan kita, maka kita akan bisa menjadi manusia yang lebih baik. Nah upaya untuk melakukan integrasi dua perspektif ini akan sangat baik apabila dimulai bulan ramadhan.
Ada banyak ilustrasi dalam ramadhan untuk kita memahaminya, bagaimana kita belajar untuk menajdi orang yang lebih baik. Bagaimana kita mampu juga bersikap yang lebih tepat sebagai sebagai seorang muslim. Pada akhirnya ketika la'allakum tattaquun itu adalah akhir dari Ramadhan dan akhir puasa kita, maka kata takwa merangkum keseluruhan perspektif yang ada baik halal-haram dan pantas atau tidak pantas.
Satu hal yang perlu kita sadari adalah bahwa ketika kita bicara pendidikan sebagai satu kesatuan, kita tidak hanya bicara soal aspek kognitif atau pengetahuan, tapi juga aspek penghayatan, pengamalan dan pengalaman, yang semua itu bisa dipelajari selama bulan Ramadhan. Jadi puasa tidak hanya pengetahuan tentang upaya spiritual mendekatkan diri kepada Allah SWT, tapi puasa juga penghayatan, pengalaman dan pengamalan.
Karena kalau pengetahuan tanpa diiringi penghayatan dan pengamalan, maka seperti Rasulullah SAW katakan Kam Min Shoimin Laisa Lahu Min Shiyamihi Illal Ju'u Wal Athosyh. Begitu banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan pahala dan qurbah (kedekatan kepada Allah SWT). Hanya haus dan lapar yang terasa, yang artinya tidak mendapatkan penghayatan dan pengalaman, artinya dia gagal dalam proses belajar di bulan suci yang mulia.
Maka mari kita maknai secara utuh Ramadhan sebagai satu medium pembelajaran bagi kita untuk bisa hidup dengan cara dan sikap yang lebih tepat sebagai hamba Allah SWT melalui perintah Allah SWT untuk kita tunaikan dan menjauhi larangannya dan juga meletakan standar standar etika sebagai sesuatu yang penting dalam hidup kita.