Perbedaan Puasa Awam dan Puasa Khawash

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto

Senin 29 May 2017 19:23 WIB

Nasaruddin Umar Foto: Antara/Wahyu Putro A Nasaruddin Umar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Masjid Istiqlal, Prof  Nasaruddin Umar menjelaskan tentang tiga tingkatan puasa. Di antaranya puasa awam, puasa khawash, dan puasa khawash al-khawash. Dia menjelaskan ciri-ciri puasa awam dan puasa khawash.

Nasaruddin menjelaskan, yang pertama puasa awam. Yaitu puasanya orang-orang umum yang menjalankan ibadah puasa secara standar (basic), sebagaimana diajarkan dalam ilmu fikih.

Kedua, puasa khawash. Yaitu puasanya orang-orang khusus, yang menjalankan ibadah puasa secara disiplin (intermediate), sebagaimana dituntunkan dalam ilmu tarekat.

"Puasa awam ialah puasanya orang-orang yang hanya mengacu kepada puasa yang bersifat fisik. Seperti menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan suami istri di waktu puasa," kata Nasaruddin kepada Republika.co.id, Senin (29/5).

Dikatakan Nasaruddin, mereka yang melaksanakan puasa awam tidak peduli dengan pengendalian organ-organ tubuh lain yang ada pada dirinya. Bagi mereka, yang penting sudah sesuai dengan syarat wajib, rukun dan ketentuan fikih puasa.

Sementara, mereka yang melaksanakan puasa khawash, selain menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri juga mengendalikan organ tubuh lainnya. Seperti mengendalikan lidah, mata, pendengaran, penciuman, kecenderungan hati (dzauq) dan sentuhan kulit.

Dijelaskan Nasaruddin, mengendalikan lidah karena di dalam pembicaraan sering terselip kebohongan, ria, ujub, namimah, gibah, tertawa terbahak-bahak, marah, mengumpat dan lain sebagainya. Kemudian, mengendalikan mata supaya tidak mudah menyaksikan hal-hal yang haram dan halal.

Hal yang haram contohnya melihat aurat, menyaksikan kejahatan dan hal-hal yang bisa memancing nafsu seksual. "Hal-hal yang halal juga dibatasi karena bisa mengendalikan pikiran ke arah hal-hal yang tidak sejalan dengan ibadah puasa. Misalnya menatap istri atau menyaksikan pemeran yang bisa mengecoh ingatan kepada Allah SWT," jelasnya.

Mengendalikan pendengaran. Artinya mengendalikan telinga untuk tidak mendengarkan hal-hal yang bisa memancing keterlibatan nafsu syahwat dan egoisme. Mengendalikan penciuman. Artinya mengendalikan hidung untuk tidak mencium bau busuk yang bisa mempengaruhi keindahan dan kesejukan lahir batin.

"Juga mengendalikan diri untuk mencium bau parfum wangi dari seseorang yang bisa mengalihkan imajinasi ke hal-hal kelezatan hidup, yang tidak sejalan dengan ajaran Islam," ujarnya.

Mengendalikan Kecenderungan hati (dzauq). Artinya mengendalikan kecenderungan hati dan pikiran dari obyek yang bisa menggiurkan. Sehingga, menyebabkan orang bisa meninggalkan prinsip-prinsip puasa. Contohnya memikirkan keuntungan bayak di balik transaksi riba dan hal-hal yang syubhat lainnya.

Nasaruddin mengatakan, mereka yang menjalankan puasa khawash juga mengendalikan sentuhan. Artinya mengendalikan kulit untuk menyentuh sesuatu yang bisa menimbulkan kegairahan nafsu. Misalnya menyentuh kehalusan dan kemulusan barang dagangan, sehingga dapat memancing nafsu untuk memilikinya.

Terpopuler