REPUBLIKA.CO.ID, THAKETA -- Muslim Myanmar kekurangan tempat beribadah selama bulan Ramadhan ini. Bulan lalu, dua sekolah Muslim yang biasa digunakan sebagai tempat ibadah telah ditutup oleh pemerintah.
Muslim Thaketa Township terpaksa beribadah di rumah masing-masing karena masjid pun sangat minim. Atau, mereka harus berjalan sekitar 30 menit untuk sampai ke masjid terdekat yang luasnya pun tidak seberapa.
Dua sekolah madrasah ditutup setelah di didemo oleh komunitas Buddha ultranasionalis. Mereka mendesak pemerintah lokal untuk menutupnya. Hingga Ramadhan tiba, dua sekolah itu tetap dibiarkan tutup.
Populasi Buddha mencapai 90 persen di Myanmar. Sementar Muslim tidak sampai lima persen. Sebelumnya, kelompok Buddha nasionalis ini mendesak agar sekolah tidak digunakan untuk shalat.
Namun selama beberapa tahun pemerintah lokal masih mengizikan tempat tersebut digunakan sebagai sarana ibadah Ramadhan. Namun kini, semuanya dilarang. Kepala kelompok Muslim, Kyaw Khin sangat menyesalkan hal ini.
"Padahal sudah lama sekali kami tidak membangun masjid baru di negara ini," kata Kyaw. Masjid-masjid yang sudah ada pun terus menyusut karena dirusak dengan cara kekerasan atau ditutup pemerintah.
Kelompok HAM, Human Right Watch (HRW) dalam situs resminya mengatakan pemerintah telah jelas-jelas menghambat kekebasan beribadah. Mereka menerapkan larangan konstruksi dan renovasi bangunan keagamaan.
Selain itu, pemerintah melakukan diskriminasi terhadap Muslim. "Termasuk etnis Rohingya di Rakhine State, yang kami dokumentasikan selama berdekade-dekade," kata HRW.
Kelompok HAM ini mendesak pemerintah untuk mengizinkan semua kelompok untuk beribadah dengan bebas. Termasuk membuka kembali sekolah-sekolah Islam dan melindungi minoritas dari aksi demo.