REPUBLIKA.CO.ID, TERNATE -- Suasa gembira diliputi rasa penasaran tinggi akan indahnya menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan, mungkin sudah tidak begitu menggelegak di dalam diri sebagian umat Islam. Namun tidak dengan Suku Togutil.
Suku Togutil adalah suku pedalaman yang tinggal di hutan Halmahera Timur, Maluku Utara. Suku ini sebelum bertemu dengan dai tangguh Laznas BMH, belum memiliki agama. Atas pertolongan Allah, program dai tangguh BMH sampai ke hutan di mana suku Togutil tinggal.
Menurut Ustadz Nur Hadi, salah seorang dai tangguh BMH, perjalanan ke hutan itu membutuhkan waktu sekitar satu minggu perjalanan kaki. "Suku ini hidup berkelompok dengan pola nomaden alias berpindah pindah," ucap Nur Hadi dalam rilis BMH yang diterima Republika.co.id, Jumat (26/5).
Nur Hadi menambahkan, anggota suku Togitul yang sudah menjadi Muslim itu saat ini sedang dibina oleh dai tangguh BMH di Ternate. “Hal ini untuk memudahkan proses, karena di Ternate mayoritas Muslim, sehingga kami bisa lebih leluasa untuk membina mereka," imbuh Nur Hadi.
“Jika sudah kuat keislaman mereka, kami akan kembalikan mereka ke tengah hutan Halmahera. Sebab, di sana, masih banyak orang suku yang belum punya agama dan jumlah mereka di atas seratusan orang," tutur Nur Hadi.
Nur Hadi mengungkapkan, suku Togutil belum berpendidikan dan mengenal dunia luar. “Di antara remaja mereka banyak yang baru bisa pegang pena waktu dilatih menulis oleh dai tangguh BMH,” ujar Nur Hadi.
Rumah mereka seperti gubuk kecil dengan atap daun woka dan tanpa dinding. Makanan mereka tergantung dari alam dan jika makanan di tempat telah habis, mereka akan berpindah tempat.
"Alhamdulillah pada bulan Oktober 2016, 10 orang suku Togotil masuk Islam. Sebanyak 10 orang itu belum bisa berbahasa Indonesia, masih berbahasa suku saja. Mereka juga masih bertelanjang baju dengan lelakinya berambut panjang,” papar Nur Hadi.
Sekarang mereka dalam tahap pembinaan. “Kita sedang bina untuk keislamannya dan kehidupan bermasyarakatnya. Dari belum beragama menjadi beragama dan dari kehidupan primitif menjadi berbudaya dan beradab," imbuhnya.
Dan Ramadhan 1438 H, kata Nur Hadi, adalah puasa perdana bagi mereka. Tentu ini sebuah kuasa Allah atas hamba-hamba-Nya yang diidzinkan mendapatkan hidayah-Nya. Kelak kalau mereka telah tuntas menjalani proses pembinaan, mereka akan segera dikembalikan ke masyarakatnya. "Kami berharap, jika kembali ke hutan mereka sudah bisa bercocok tanam atau punya satu keterampilan tertentu agar bisa menopang kehidupan sehari-harinya," papar Nur Hadi.
Lantas bagaimana kesan mereka setelah mengenal Islam? Ustadz Nur Hadi mengutip salah seorang warga suku Togutil bernama Hamadiah yang kini bernama hijrah (Muslim) Bilal. Dia bicara didampingi penerjemah bahasa sukunya. “Saya awalnya takut jika masuk Islam apalagi dibawa ke Ternate. Takut dibunuh dan takut dimasukkan sel tahanan polisi,” ucapnya dituturkan Nur Hadi.
Setelah dibawa ke Ternate dan masuk Islam, dia sangat senang. “Sangat senang dengan penyambutan orang Muslim lainnya. Orang Islam ramah dan baik-baik,” katanya.
Ketika masih di hutan, dia biasa tidak makan satu atau dua hari. Namun ketika sampai dk Ternate, ia makan sampai tiga kali sehari. Dia tidak perlu mencari makan dengan jalan kaki di hutan-hutan. Hal itu ternyata membahagiakan Bilal. “Bahkan ketika sudah satu minggu di Ternate, dia pulang ke hutan dan mengajak keluarga yang lain masuk Islam,” tutur Nur Hadi.
Dia memberikan semangat dan contoh dirinya ketika sudah masuk Islam, bahwa masuk Islam itu sangat menyenangkan. “Dari sini banyak orang suku yang tertarik masuk Islam. Sehingga beberapa hari lalu 21 orang suku Togutil pada Selasa, 23 Mei 2017 kembali masuk Islam,” papar Nur Hadi.