REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Megibung adalah kegiatan makan bersama di dalam satu wadah yang dikenal di antara masyarakat Bali dan Lombok Barat. Tradisi ini bukan hanya populer di kalangan umat Hindu, namun juga Muslim.
Megibung berasal dari kata ‘gibung’ yang berarti kegiatan dilakukan banyak orang untuk saling berbagi, yaitu duduk bersama untuk makan sembari berdiskusi. Tradisi ini awalnya diperkenalkan Raja Karangasem, I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar 1614 Caka atau 1692 Masehi. Saat itu Kerajaan Karangasem memenangkan perang melawan Kerajaan Sasak di Lombok.
Megibung kini bukan saja dilakukan untuk upacara adat, namun juga acara selamatan, menyambut tahun baru, Maulid Nabi Muhammad SAW, atau menyambut Ramadhan. Muslim di Denpasar menyambut Ramadhan tahun ini juga menggelar acara megibung di rumah saudara atau kerabat.
Penyajiannya kini bukan lagi menggunakan wadah besar dari tanah liat yang dilapisi daun pisang. Namun, diganti dengan nampan bambu berbentuk bulat beralaskan daun pisang atau daun pisang yang langsung ditata memanjang di dalam rumah.
Widia (30 tahun), Muslim kelahiran Denpasar yang sudah tinggal di Bali sejak kecil menggelar acara megibung di rumahnya di kawasan Gatot Subroto Barat, Denpasar. "Makan bersama seperti ini selalu kami adakan menjelang puasa," katanya kepada Republika, Jumat (26/5).
Menu lauk pauk yang disajikan, antara lain ayam bakar, sate lilit khas Bali, ikan asin, nasi putih, sambal terasi, lengkap dengan sayur, tahu, dan tempenya. Nasi putih juga bisa diganti dengan nasi liwet yang tentunya semakin lezat di lidah.
Megibung penuh dengan nilai kebersamaan. Semua orang duduk sama rata, tanpa memandang kasta, dan jenis kelamin. Komunitas Muslim di Karangasem, seperti Kecicang, Saren Jawa, dan Tohpati juga melestarikan megibung sampai hari ini. Teman atau kerabat yang berbeda agama juga boleh makan bersama dan ikut merasakan suasana menyambut puasa atau kegiatan bernapaskan Islam lainnya.