Puasa dan Perubahan Diri

Red: Agung Sasongko

Rabu 24 May 2017 21:43 WIB

Ramadhan Foto: IST Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang membalasnya.” Begitulah penegasan Allah SWT tentang besarnya pahala bagi orang yang berpuasa, sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW dalam Sahih Bukhari.

Puasa berarti menahan; baik menahan makan, minum, bicara, dan perbuatan. Secara terminologi, puasa berarti menahan dari hal-hal yang membatalkan dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan—perut dan alat kelamin—sehari penuh, sejak terbitnya fajar, hingga terbenamnya matahari.

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari mengatakan, puasa secara bahasa mengandung pengertian al-imsak (menahan diri). Menurut pengertian syariat, puasa adalah menahan makan dan minum serta yang membatalkannya dengan syarat-syarat yang bersifat khusus.

Puasa juga berasal dari kata saum. Makna asli kata saum adalah berpantang dalam arti sebenar-benarnya (al-imsaku an al-fi’li), mencakup pula berpantang makan, bicara, dan berjalan.

Kata saum dalam arti berpantang bicara terdapat dalam Aquran surah Maryam ayat 19, “Katakanlah, aku bernazar puasa kepada Tuhan Yang Mahapemurah maka pada hari ini aku tak berbicara dengan siapa pun.”

Sementara, ibadah puasa bagi umat Islam disyariatkan sejak Ramadan pada kedua Hijriah. “... diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah: 184).

Ada pendapat mengatakan, yang dimaksud umat-umat terdahulu (orang-orang sebelum kamu) adalah sejak Nabi Adam AS. “Puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allah SWT kepada umat-umat sebelum kamu,” kata Ibnu Abi Hatim. “Umat-umat terdahulu itu adalah ahli kitab, Yahudi, dan Nasrani.” Pendapat ini diriwayatkan dari Mujtahid dan Ibnu Abbas.

Disebutkan bahwa Nabi Adam AS ketika sampai di bumi—setelah diturunkan dari surga—segera bertobat kepada Allah SWT dan berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Inilah yang kemudian dikenal dengan puasa Hari Putih (ayyam al-bidh) yang juga sunah dikerjakan setiap 13, 14, dan 15 Qamariyah.

Walaupun dalam Alquran dan hadis tidak dijelaskan bagaimana bentuk puasa Adam AS dan generasi setelahnya, ada sejumlah petunjuk yang menegaskan bahwa agama yang dibawa oleh para rasul terdahulu itu adalah agama monoteisme yang mengajarkan kepercayaan pada keesaan Tuhan (Allah).

Misalnya, Nabi Nuh AS yang berpuasa selama tiga hari setiap bulan sepanjang tahun, seperti puasanya Adam AS. Nabi Nuh juga memerintahkan kaumnya untuk menyembah Allah dan berpuasa ketika mereka terkatung-katung di dalam perahu besar, seraya bertobat kepada-Nya.

Nabi Daud AS juga melaksanakan puasa, bahkan dalam waktu yang cukup lama—sekitar enam bulan. “Adapun hari di mana aku berpuasa adalah untuk mengingat kaum fakir. Sedangkan, hari di mana aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan Allah SWT,” ujarnya.

Pernyataan Daud AS ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sebaik-baik puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.” (HR Muslim).

Nabi Musa AS kemudian mewarisi tradisi berpuasa. Menurut para ahli tafsir, Musa dan kaum Yahudi melaksanakan puasa selama 40 hari (QS al-Baqarah: 40). Salah satunya, jatuh pada 10 Muharram, sebagai ungkapan syukur atas keselamatan mereka dari kejaran Firaun dan bala tentaranya.

Puasa 10 Muharram ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah. Rasulullah SAW lantas menegaskan, umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram ketimbang Yahudi. Untuk membedakannya, Beliau SAW mensyariatkan puasa sunah pada 9 dan 10 Muharram. Selain untuk membedakan dengan puasa Yahudi, juga sebagai ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas kebatilan.

Terpopuler