REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Bank Indonesia perwakilan Tasikmalaya terus berupaya menjaga stabilitas harga selama Ramadhan dan jelang Idul Fitri. Salah satu upayanya yaitu ikut merangkul kelompok ulama. Para ulama diharapkan berceramah tentang efisiensi saat berbelanja guna mencegah belanja berlebih.
Kepala BI Tasik, Wahyu Purnama mengatakan, pembelian berlebih atau panic buying menjadi salah satu hal yang ditakuti terjadi selama Ramadhan. Sebab, menurutnya, walau pun pasokan banyak, tetap berpotensi terjadi kelangkaan andai panic buying terjadi secara masif.
Pelaku panic buying, sambungnya, khawatir terjadi kelangkaan dan tak bisa memenuhi kebutuhan diri. Padahal, tindakan panic buying lah yang sebenarnya menyumbang faktor kelangkaan terhadap komoditas tertentu.
"Masyarakat tidak konsumsi berlebihan, belanja secara bijak. Kelebihan uangnya diinfakan ke anak yatim dsb. Agar tidak ada lonjakan harga yang tinggi, belanja di ramadhan yang diperlukan saja jadi kesejahteraan terjamin, tubuh sehat, ibadah maksimal," katanya pada wartawan, Selasa (23/5).
Ia pun menaruh harap bahwa para ulama bisa ikut menjadi kepanjangantangan BI dalam menyiarkan pentingnya efisiensi berbelanja. Apalagi sebagai Kota Santri, ia menilai pengaruh ulama masih terbilang dominan.
"Kalau sekitar 200 ulama yang hadir ini syiarkan tiap hari, saya yakin akan berpengaruh terhadap umat. Kami yakin ulama lebih dekat dengan masyarakat mulai dari tausyah, salat jamaah, kultum dan lain sebagainya selama ramadhan. Lewat ulama kami imbau konsumsi tidak panic buying. Secukupnya saja, kelebihan uang disedekahkan," harapnya.
Ketua MUI Kota Tasik KH Achef Noor Mubarok mengatakan, ulama memang harus mengambil peran dalam strategi ekonomi umat. Ia mendukung gagasan BI agar ulama diikutsertakan dalam upaya stabilisasi sembako. Ia pun menyarankan, para ulama menggunakan seluruh media komunikasi guna berdakwah. Sehingga para ulama tak hanya menyiarkan pesan lewat mimbar Masjid saja.
"Maka, tugas ulama bertambah kepada masyarakat harus mengatur kestabilan dan keseimbangan. Ada pesan khusus untuk membantu pemerintah lewat media medsos misalnya ulama syiar di sana tidak hanya di masjid, khotbah, kultum dan lainnya," ujarnya.
Di sisi lain, ia menyadari konsumsi masyarkat yang tinggi selama Ramadhan memang wajar terjadi. Pasalnya, setelah berpuasa selama seharian, tentu masyarakat ingin berbuka dengan makanan yang banyak. Padahal, ia mengingatkan, berbuka dengan cara berlebihan juga tidak baik.