REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aisyah binti Abu Bakar Asshiddiq adalah salah satu perempuan yang paling penting dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sejarah juga mencatat ia sebagai orang yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran ajaran-ajaran Islam.
Aisyah dikenal sebagai periwayat hadis terbesar pada masanya. Dia juga merupakan seorang yang cerdas, fasih, dan mempunyai ilmu bahasa yang tinggi. Ia dilahirkan di Makkah, sekitar tahun kedelapan sebelum Hijriah.
Ketika Khadijah meninggal dunia, Rasulullah merasa amat sedih. Saat tekanan kesedihan mereda, beliau sering mengunjungi rumah sahabat, termasuk Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat itu ia berkata, “Wahai Ummu Ruman, jagalah Aisyah anak perempuanmu itu dengan baik dan peliharalah dia.”
Karena pesan Rasulullah ini, Aisyah jadi punya kedudukan istimewa dalam keluarganya. Sejak Abu Bakar masuk Islam hingga masa hijrah, Rasulullah selalu mengunjungi rumah Abu Bakar dan keluarganya.
Hingga akhirnya Rasulullah pun menikahi Aisyah atas petunjuk Allah. Aisyah sudah memiliki garis takdir penting dalam perjalanan hidupnya dan Islam.
Pernikahan ini terjadi di Makkah pada bulan Syawal, tiga tahun sebelum Hijrah. Pada saat itu, Aisyah berumur tujuh tahun. Rasulullah baru membangun bahtera rumah tangga dengan Aisyah ketika ia berumur sembilan tahun di Madinah pada bulan Syawal tahun pertama Hijrah.
Rasulullah banyak mengajarkannya fiqih dan ilmu-ilmu tentang perempuan. Aisyah adalah seorang wanita yang paling beruntung yang dimilikinya dan paling dicintainya diantara istri-istri Rasul yang lain.
Saking cintanya Rasulullah SAW pada Aisyah, beliau mendoakannya dengan doa, “Ya Allah, ampunilah Aisyah dari dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, yang tersembunyi dan yang terlihat.”
Aisyah juga amat mencintai Rasulullah SAW. Namun, perjalanan mereka tidak selalu mulus. Banyak masalah, iri, cemburu, dan lainnya yang menghampiri mereka. Hingga pada suatu ketika, Nabi SAW datang padanya dan menawarkan perpisahan.
Rasulullah berkata, “Aku akan menawarkan padamu suatu perkara, kau tidak perlu terburu-buru untuk memutuskannya hingga kau berdiskusi dengan kedua orang tuamu.” Aisyah bertanya, “Tentang apa ini, ya Rasulullah?”
Kemudian Nabi Muhammad SAW membacakan ayat Alquran, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab: 28-29).
Aisyah berkata, “Lalu untuk apa kau menyuruhku berunding dengan kedua orang tuaku, padahal aku telah tahu. Demi Allah, kedua orang tuaku tidak akan menyuruhku untuk berpisah darimu. Bahkan aku telah memutuskan untuk memilih Allah, Rasul-Nya dan akhirat.” Rasulullah pun merasa gembira dan takjub dengan jawaban Aisyah.
Kecintaan besar yang dinikmati Aisyah dari Nabi Muhammad SAW tentu saja merupakan faktor pemicu pada sebagian orang untuk merasa iri dan cemburu. Sehingga banyak yang melemparkan tuduhan pada wanita suci ini. Namun Allah selalu membebaskan dirinya dari segala tuduhan tersebut. Kedudukan Aisyah hingga kini tetaplah mulia. Rasulullah SAW pun tidak pernah berhenti mencintainya.