Puasa Sebagai Terapi

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ilham

Jumat 02 Jun 2017 06:30 WIB

Puasa (ilustrasi) Foto: IST Puasa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa bukanlah syariat baru. Allah juga mewajibkan puasa pada umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad SAW. Sejak Nabi Adam AS, Allah telah mensyariatkannya, kemudian terus bersambung hingga Rasulullah SAW.

Puasa, baik sunnah maupun wajib, telah dicontohkan oleh beliau. Mulai dari niat di malam hari, sahur menjelang subuh, berpuasa hingga tenggelam matahari dan berlanjut rutinitas tersebut di kemudian hari.

Puasa pun dibarengi dengan peraturan dan imbauan untuk meningkatkan ibadah. Hingga akhirnya jika dijalani betul, maka setiap individu bisa menjadi lebih baik. Ia pun jadi mahluk baru dan berbeda.

Dalam konteks Islam, seperti dikutip dari buku 'Sehat Tanpa Obat' karya Dr. H. Briliantono M. Soenarwo dan K. Muhammad Rusli Amin, puasa mempunyai tujuan yang lebih dahsyat, yakni tercapai derajat taqwa. Derajat tinggi yang bisa dicapai oleh orang-orang saleh.

Seperti dalam Firman Allah QS Al-baqarah: 183. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa".

Puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga. Namun juga mengasah diri untuk jadi pribadi Muslim yang lebih baik. Puasa bertujuan membentuk manusia dengan kualitas taqwa yang telah Allah gambarkan dalam QS Al-Baqarah 2-5.

Yakni beriman pada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezki, beriman pada Kitab, dan meyakini ada kehidupan akhirat. Manusia yang orientasi utamanya Allah, maka ia akan sangat berharap pada akhir taqwa.