Mengapa Bahagia Harus Dicampur Rasa Sedih?

Red: Irwan Kelana

Jumat 08 Jul 2016 10:44 WIB

Syekh Nuruddin Sarrouj (tengah) diapit Pimpinan Pondok Pesantren Darul Istiqamah Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan KH Mudzakkir M Arif (kanan) dan CEO Madinah Iman Wisata Nuryadin Yakub di Brussels, Belgia, Ahad (14/2). Foto: Irwan Kelana/Republika Syekh Nuruddin Sarrouj (tengah) diapit Pimpinan Pondok Pesantren Darul Istiqamah Bulukumba, Makassar, Sulawesi Selatan KH Mudzakkir M Arif (kanan) dan CEO Madinah Iman Wisata Nuryadin Yakub di Brussels, Belgia, Ahad (14/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Idul Fitri hadir dengan membawa kegembiraan bagi kaum Muslimin yang melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya selama Ramadhan. Meskipun demikian, seorang Muslim tidak selayaknya terlalu bergembira.

“Setiap suasana bahagia penting dicampur dengan sedikit rasa sedih karena iman. Sedih karena belum optimal menyyukuri nikmat Allah. Sedih karena mengingat kematian. Sedih karena taubat. Itulah kesadaran imani,” ujar KH Mudzakkir M Arif dalam broadcast yang dikirimkan kepada Republika.co.id, Jumat (8/7/2016).

KH Mudzakkir menambahkan, suasana bahagia dengan sengaja digabungkan ke dalamnya sedikit rasa sedih karena mengenang orang orang tercinta yang telah mendahului, mengingat orang orang tercinta yang terbaring sakit, orang orang tercinta yang jauh tak dapat bersua, para anak yatim yang rindu, para dhuafa yang sedih.

“Itulah cinta imani. Itulah kesetiaan imani. Dalam bahagia ada doa, itu syahdu. Ketika bahagia kita beristighfar, itulah bahagia yang berpahala. Saat bahagia kita mengingat orang lain, mendoakan kebaikan untuk orang lain, itulah kelembutan jiwa,” papar KH Mudzakkir yang juga Pimpinan Ponpes Darul Istiqamah Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Terpopuler