Tak Ada Ketupat dan Kue Lebaran di Posko Pengungsi Sinabung

Rep: Issha Harruma/ Red: Yudha Manggala P Putra

Rabu 06 Jul 2016 18:35 WIB

Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanik ketika erupsi, di Karo, Sumatera Utara, Rabu (25/5). Foto: Antara/Endro Lewa Gunung Sinabung menyemburkan material vulkanik ketika erupsi, di Karo, Sumatera Utara, Rabu (25/5).

REPUBLIKA.CO.ID KARO -- Tidak ada ketupat dan kue lebaran bagi umat muslim desa Kuta Tengah, kecamatan Simpang Empat, Karo tahun ini. Erupsi gunung Sinabung membuat mereka terpaksa meninggalkan desa dan mengungsi di posko kantor serikat majelis wilayah Gereja Pantekosta di Indonesia, Desa Ndokum Siroga, Simpang Empat.

Ada sekitar 173 orang yang tinggal di posko tersebut. Mereka semua merupakan warga Kuta Tengah, desa yang hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Gunung Sinabung. Sekitar 20 orang dari total tersebut beragama islam.

Hari ini, Rabu (6/7), sebagian besar dari mereka melaksanakan shalat Idul Fitri 1437 H di masjid yang berada di Simpang Empat. Usai shalat, mereka kembali ke posko dan bersuka cita di sana. Mereka bersalaman, berpelukan dan saling mengucapkan kata maaf dan selamat Lebaran. Tak sedikit dari mereka yang menitikkan air mata.

Seorang pengungsi, Ratnawati br Karo (50) mengatakan, tahun ini merupakan kali pertama ia dan keluarganya merayakan Lebaran di posko pengungsian. Sejak 2010, pemerintah sebetulnya telah merelokasi mereka dari desa.

Namun, para pengungsi itu masih sering bolak-balik dan bahkan tetap ada yang bertahan tinggal di desa tersebut. Luncuran awan panas yang menggulung Gamber, desa tetangga Kuta Tengah, beberapa waktu lalu, menurut Ratnawati, akhirnya membuat mereka lebih waspada dan terpaksa merayakan Lebaran di posko.

"Tahun kemarin kami Lebaran di kampung. Sekarang lebih sakit dari tahun kemarin. Tapi gimana lagi, inilah cobaan kami," kata perempuan yang biasa disapa Wati ini saat ditemui Republika usai shalat Ied, Rabu (6/7).

Wati mengatakan, suasana perayaan Lebaran di desa dan posko tentu berbeda jauh. Jika di rumahnya di kampung, ia bisa merayakan Idul Fitri dengan menyediakan berbagai panganan dan pernak pernik khas Lebaran, namun tidak begitu dengan posko pengungsi yang ia tempati sekarang.

"Nggak ada lontong, nggak ada kue. Sebenarnya bisa masak lontong, cuma di sini kan ramai, nggak enak sama yang bukan muslim juga. Namanya bukan rumah kita sendiri," ujar dia.

Meski tak bisa semeriah yang biasanya, perempuan berkerudung ini mengaku tetap berbahagia di hari yang paling ditunggu umat muslim usai melaksanakan ibadah selama Ramadhan ini. Sejumlah pengungsi beragama islam lain yang ditemui Republika pun mengatakan hal senada.

"Semoga gunungnya cepat sembuh, jauh dari erupsi karena emang lebih enak di kampung lah. Tapi biar kami tingkatkan ibadah dan keimanan kami. Walaupun gini, tetap sabar. Mau bilang apa lagi, sudah lima tahun begitu (erupsi)," kata Wati sembari tersenyum.

Pantauan Republika, beberapa waktu berselang usai solat Idul Fitri selesai sekitar pukul 08.50 WIB, satu per satu pengungsi yang merayakan Lebaran mulai pergi meninggalkan posko. Mereka hendak melakukan salah satu tradisi Lebaran, yakni bersilaturahmi mengunjungi keluarga dan sanak saudara. "Ada juga yang berangkat ke ladang di kampung. Tapi kalau saya, istirahat dulu lah. Namanya lagi Lebaran. Keliling-keliling aja," ujar Wati.

Terpopuler