Tradisi Mudik, Perubahan Paradigma Sosio Kultural Umat Islam

Rep: Kabul Astuti/ Red: Ani Nursalikah

Rabu 06 Jul 2016 09:17 WIB

Tradisi Mudik Foto: MgROL17 Tradisi Mudik

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ribuan umat Islam di Kota Semarang, Jawa Tengah menggelar Shalat Idul Fitri 1437 H di Masjid Agung Jawa Tengah, Rabu (6/7).

Bertindak sebagai khatib dalam shalat Idul Fitri ini Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi. Ia menyampaikan perihal makna Idul Fitri secara teologis dan kultural.

Menurut Wahyudi, Idul Fitri secara teologis bermakna kembali ke fitrah, tanpa dosa vertikal seperti asal kejadian. Tapi, dosa-dosa horizontal tidak serta merta dapat diampuni. Umat Islam membutuhkan sarana untuk bersilaturahim saling memaafkan.

"Tradisi mudik sebenarnya merupakan perubahan paradigma sosial ekonomi umat Islam Indonesia dari defensif kultural menjadi progresif kultural," kata Wahyudi dalam khutbah Idul Fitri, Rabu (6/7).

Ia menjelaskan, pada masa kolonial, para wali memberikan kearifan mangan ora mangan kumpul sebagai strategi defensif kultural untuk menghindari taktik pecah belah Belanda. Setelah kemerdekaan, strategi ini menjadi tidak relevan. Umat Islam harus berpencar ke segala penjuru negeri untuk mengisi kemerdekaan.

Wahyudi menerangkan, di tanah asal kelahiran Islam, Idul Fitri tidak begitu ramai. Yang ramai justru Idul Adha ketika jutaan umat Islam datang untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, berziarah ke Makkah saat Hari Raya hanya dapat dilakukan orang-orang mampu. Di sinilah, lagi-lagi para wali memberikan kearifan.

"Idul Fitri menawarkan pengampunan bagi umat Islam di seluruh dunia sehingga sangat strategis untuk lebih dirayakan di Indonesia sebagai wilayah yang jauh dari tempat kelahiran Islam," kata Rektor UIN Yogyakarta itu.

Terpopuler