Pengalaman Nia Rasakan Toleransi Masyarakat Jepang Saat Puasa

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini

Rabu 06 Jul 2016 03:11 WIB

Turis menikmati cantiknya bunga sakura yang mekar di sekitar Tokyo, Jepang. Foto: EPA Turis menikmati cantiknya bunga sakura yang mekar di sekitar Tokyo, Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Ini bukan kali pertama Nur Rohmania menjalankan Ramadhan jauh dari keluarga. Namun, tapi ini adalah pertama kalinya ia menghabiskan Ramadhan di negeri seberang. Keputusannya untuk menempuh studi bahasa Jepang mengantarkan gadis asal Bekasi itu bertolak ke negeri Sakura.

Ramadhan 1437 Hijriah menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Nur atau yang biasa disapa Nia. "Pertama puasa di negeri orang rasanya senang, tapi ada rasa khawatir juga," ujarnya kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Kekhawatiran dirasakan Nia karena mendengar cerita dari saudara-saudaranya. "Mereka bilang di Jepang itu kalau puasa saat musim panas lebih berat," ujarnya.

Ramdhan kali ini jatuh tepat saat musim panas di Jepang. Itu artinya, waktu puasa lebih lama dibanding negara lain dan suhu udara lebih panas dibandingkan dengan Indonesia.

"Tapi alhamdulillah, setelah dijalani sampai sekarang pun saya masih bisa berpuasa," kata perempuan berusia 25 tahun tersebut.

Sementara itu, untuk konsumsi makanan diakuinya tidak sulit. Sebab, sebagai seorang siswa dan pekerja paruh waktu, Nia memilih untuk mengirit uang dengan memasak. Makanan halal di Jepang juga cukup mudah ditemui.

Tidak hanya itu, toleransi beribadah di Jepang juga cukup tinggi. Buktinya, perempuan berhijab tersebut masih bisa mendapat pekerjaan paruh waktu dan tetap bisa menjalankan sholat lima waktu.

"Kalau kita bisa komunikasi dengan pihak sekolah ataupun tempat kerja, mereka sangat toleransi. Buktinya saya masih bisa menjalankan sholat lima waktu di sekolah dan mendapatkan waktu istirahat untuk berbuka puasa," kata dia.